%A NIM. 11350008 ULFATUL FIKRIYAH %O Dr. H. AGUS MOH. NAJIB, M.Ag. %T PEMBATALAN PERKAWINAN POLIANDRI KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (STUDI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLAWI NOMOR: 1027/Pdt.G/2015/PA.Slw) %X Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral dan mulia, yang mana memiliki kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan hukum Nasional Indonesia. Pada dasarnya poliandri merupakan salah satu bentuk perkawinan yang diharamkan dalam Islam. Akan tetapi, pada kenyataannya perkawinan poliandri tetap dapat dilaksanakan dengan mudah dan tanpa memandang tata cara pelaksanaan yang dilakukan itu benar ataupun salah. Seperti kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Slawi, Perkara Nomor 1027/Pdt.G/2015/PA.Slw. adalah sebuah perkara pembatalan perkawinan dikarenakan sang istri melakukan perkawinan poliandri dengan menggunakan identitas palsu. Kasus tersebut menarik penyusun untuk meneliti dan mengkaji mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan poliandri karena pemalsuan identitas dan apa saja akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perkawinan poliandri. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu dengan melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang al-Qur‟an, Hadits, pandangan para Ulama serta kaidah-kaidah fiqih, dan pendekatan yuridis yaitu dengan melihat dari sisi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dibuat kesimpulan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan poliandri karena pemalsuan identitas adalah dengan pembuktian yaitu alat bukti yang membuktikan terjadinya perkawinan poliandri, berupa fotocopy kutipan akta nikah dari perkawinan pertama tergugat II dan perkawinan kedua tergugat II, serta diperkuat dengan adanya pengakuan dari tergugat. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan ini adalah berdasarkan kemaslahatan. Kemudian akibat hukum dari pembatalan perkawinan poliandri, yaitu: (1) Mengenai masa ‘iddah, karena diketahui terjadinya pembatalan ini setelah ba’da dukhul, maka masa ‘iddah bagi istri adalah 3 (tiga) kali qurȗ’ dan istri dapat bercampur dengan suami sah dari perkawinan pertamanya setelah masa ‘iddahnya habis. Hal ini ditentukan agar jelas bahwa tidak terdapat janin di dalam rahim istri akibat dari perkawinan dengan suami kedua. (2) Mengenai nafkah, dalam perkara ini suami kedua dibebaskan atas nafkah istri karena perkawinan yang dilakukan keduanya merupakan perkawinan yang tidak sah (fasid/batal). (3) Mengenai harta bersama, harta bersama yang dihasilkan selama perkawinan dianggap tidak pernah ada. Karena, dalam perkawinan tersebut pihak wanita masih terikat perkawinan dengan suami terdahulunya, hal ini berdasarkan Pasal 28 ayat (2) huruf (b). Sedangkan, harta pribadi tetap dimiliki masing-masing pihak dan dikuasai secara penuh. %K poliandri %D 2017 %I UIN Sunan Kalijaga %L digilib27219