@phdthesis{digilib30993, month = {June}, title = {HAK-HAK PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM (STUDI ATAS PEMIKIRAN SAYYID QUTB DAN ASGHAR ALI ENGINEER)}, school = {UIN SUNAN KAIJAGA}, author = {NIM: 9836 3312 MOHAMADLUKMAN}, year = {2004}, note = {I.DR. KHOIRUDDIN NASUTION, MA. 2.DRS. M. SODIK, S.SOS., M.Si.}, keywords = {Hak-hah perempuan, hukum Islam}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30993/}, abstract = {Agama akhir-akhir ini dituduh sebagai salah satu faktor penyebab ketidaksetaraan relasi gender. Sebab, doktrin agama juga ikut andil mengkonstruk perbedaan gender di masyarakatnya. Islam sebagai agama yang bertujuan menyebarkan kasih sayang dan mempetjuangkan keadilan tentunya tidak merestui penindasan sekelompok masyarakat terhadap segolongan masyarakat yang lain, termasuk perempuan. Oleh karena itu termasuk salah satu agenda pembebasan Nabi adalah pembebasan perempuan dari kungkungan kultur patriarkhi Arab. Dalam skripsi ini akan dibahas hak-hak perempuan dalam lembaga perkawinan menurut Hukum Perkawinan. Hak-hak tersebut dikaji melalui pemikiran dua tokoh pemikir Islam yang banyak menyerukan keadilan. Sayyid Qutb dan Asghar Ali Engineer adalah dua orang pemikir Islam kontemporer yang memiliki perhatian terhadap keadilan sosial dan perlawanan terhadap penindasan. Mereka adalah dua orang tokoh yang memiliki komitmen tinggi keadilan dan perlawanan terhadap penindasan. Akan tetapi mereka berangkat dari akar pemikiran yang bertolakbelakang. Sayyid Qutb di satu sisi adalah salah seorang pemikir garda depan Ikhwanul Muslimin, sedang Asghar Ali Engineer adalah salah seoran pemikir Islam progressive. Walaupun berangkat dari Jatar belakang pemikiran yang berbeda, dengan prinsip pembacaan ayat al-Qur'an yang berbeda pula. Asghar Ali Engineer dan Sayyid Qutb temyata cukup puas dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam al-Qur'an. Menurut mereka al-Qur'an telah memberi hak cukup untuk perempuan dalam rumah tangga. Apa yang dilakukan al-Qur'an adalah sebuah kemajuan dalam hukum perkawinan, khususnya tentang hak-hak perempuan. Namun demikian bukan berarti mereka sama sekali tidak melakukan hal? hal baru, sebagai seorang pemikir. Sayyid Qutb terkadang ? cenderung lebih tekstual dalam memaknai al-Qur'an. Pemahaman tekstual ini pada akhirnya melahirkan beberapa kesimpulan yang berbeda dengan pemaknaan mainstream fiqh. Bahkan paham keadilan, yang selama ini d.ipetjuangkannya, turut mewarnai cara pandang beliau terhadap beberapa ketentuan hukum Islam, misal definisi pernikahannya yang jauh berbeda dengan definisi yang selama ini diperkenalkan oleh para fuqahii', atau penolakan terhadap hak wali untuk memaksakan perkawinan. Sementara Asghar lebih memperhatikan aspek sosio kultural dalam memaknai ayat al-Qur'an. Baginya tidak selamanya hukum yang tercantum dalam al-Qur'an berlaku untuk semua masa dan tempat. Suatu saat hukum itu dapat tidak berlaku jika sudah tidak sesuai dengan kondisi sosio kultural masyarakat setempat. Tidak menjadi aneh jika Asghar melahirkan beberapa pemikiran baru dalam hak perempuan dalam perkawinan, misalnya tentang hak mencari nafkah, atau definisinya tentang mahar yang cenderung lebih menghargai perempuan, dan penolakannya terhadap peran wali dalam pernikahan.} }