relation: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34604/ title: PANDANGAN ULAMA MAZHAB HANAFIYYAH DAN IBNU HAZM TENTANG SAKSI RUJUK DALAM KONTEKS HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (TINJAUAN MAQAnah tetap menunjukkan wajib, kecuali kalau ada nas lain atau ijma>‘ yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Sedangkan jumhur ulama termasuk mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa amr yang tidak disertai qari>nah menunjukkan wajib. Sebaliknya, adanya suatu qari>nah sudah cukup dapat mengubah hakikat arti amr itu. Dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia, pelaksanaan rujuk harus dilakukan di hadapan PPN atau pembantunya dan pengucapan rujuk harus disertakan saksi-saksi sebagaimana yang disebutkan dalam KHI Pasal 167. Adapun maqa>s}id asy-syari>‘ah atau tujuan pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan sekaligus untuk menghindari mafsadah baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu dibagi kepada tiga tingkatan kebutuhan, yaitu d{aru>riyyat (kebutuhan primer), h}a>jiyyat (kebutuhan sekunder) dan tah}si>niyyat (kebutuhan tersier). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan yuridis. Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dan data yang terkumpul juga akan dianalisis menggunakan pendekatan maqa>s}id asy-syari>‘ah. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa amr pada surat at-Talaq (65): 2 menunjukkan sunnah, karena pada nas-nas tentang rujuk yang lain tidak ada qayyid yang memerintahkan mempersaksikan rujuk. Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa amr pada surat at-Talaq (65): 2 menunjukkan wajib dan tidak bisa menyimpang dari arti z}a>hir nas kecuali ada nas lain atau ijma>‘ yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Pada Pasal 167 KHI diterangkan bahwa rujuk itu harus disaksikan dan dicatat oleh PPN. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu Hazm yang mewajibkan mempersaksikan rujuk. Saksi rujuk pada dasarnya adalah perkara h}a>jiyyat, yang mana apabila ditinggalkan tidak sampai menimbulkan bahaya. Dalam konteks Hukum Perkawinan di Indonesia yang mengharuskan adanya saksi rujuk, maka saksi rujuk yang semula perkara h}a>jiyyat maka naik menjadi perkara d{aru>riyyat yang senantiasa dijaga keberadaanya agar kemaslahatan tercipta dan terhindar dari mafsadah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mempersaksikan rujuk dan mencatatkannya di KUA juga turut serta dalam pemeliharaan perkara d{aru>riyyat, terutama pemeliharaan terhadap agama, keturunan dan harta. date: 2018-11-15 type: Thesis type: NonPeerReviewed format: text language: id identifier: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34604/1/14350081_BAB%20I_BAB_TERAKHIR_DAFTAR_PUSTAKA.pdf format: text language: id identifier: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/34604/2/14350081_BAB%20II_S.D._SEBELUM_BAB_TERAKHIR.pdf identifier: MUHAMMAD IRFAN, NIM. 14350081 (2018) PANDANGAN ULAMA MAZHAB HANAFIYYAH DAN IBNU HAZM TENTANG SAKSI RUJUK DALAM KONTEKS HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (TINJAUAN MAQA