%0 Thesis %9 Skripsi %A SURIYANTI, NIM. 15551005 %B FAKULTAS USHULUDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM %D 2019 %F digilib:35027 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Penistaan al-Qur‟an, Yusuf Qaradhawi, Kontekstualisasi %P 131 %T PENISTAAN AL-QUR‟AN DALAM HADIS (Studi Ma„anil Hadis %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35027/ %X Fenomena penistaan al-Qur‟an terus terjadi di Indonesia dengan berbagai macam bentuk. Kasus tersebut bermula sejak tahun 1968 dan terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Dari beberapa kasus yang terjadi, dapat dikatakan bahwa diskursus mengenai penistaan agama terus menimbulkan berbagai polemik, baik dalam ranah hukum positif maupun pemikiran Islam secara keseluruhan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa yang berhak menentukan sebuah peristiwa termasuk dalam penistaan agama serta batasan-batasannya terus bermunculan. Terkait hal itu, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di atas, masyarakat Indonesia khususnya Islam, perlu berkaca kepada kehidupan Nabi sebagai seorang figur teladan dengan memahami manifestasi atas kehidupannya (baca: hadis) secara menyeluruh. Oleh karena itu, penulis mengangkat hadis tentang penistaan al-Qur‟an yang terjadi pada masa Nabi. Penulis menggunakan kajian ma‟anil hadis untuk memahami hadis tersebut dengan menerapkan metode yang ditawarkan oleh Yusuf Qaradhawi. Dari delapan metode yang ditawarkan oleh Yusuf Qaradhawi, penulis hanya mengambil lima metode, karena dua metode yang berkaitan alam ghaib dan majaz dirasa tidak sesuai dengan hadis yang diteliti. Kemudian metode yang terakhir, mengenai penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan telah dibahas dalam pembahasan lainnya yaitu dalam pembahasan kualitas matan hadis. Mengenai sifat data, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan disajikan secara deskriptif-analitis. Penelitian ini menunjukkan bahwa hadis tentang penistaan al-Qur‟an yang diriwayatkan oleh al-Tirmiz\i> berisi larangan kepada nabi untuk tidak terlalu mengeraskan bacaan al-Qur‟an dalam shalat agar tidak mengundang cacian orangorang musyrik dan juga larangan untuk tidak terlalu melirihkan, sehingga sahabat tidak mendapat sesuatu dari bacaan Nabi. Jika ditarik makna yang hendak disampaikan hadis tersebut dalam hal menghindari terjadinya kasus penistaan terhadap agama, khususnya terhadap al-Qur‟an perlu adanya sikap beragama secara bijak dengan tidak mengganggu orang lain baik dalam lingkup agama yang sama atau agama yang berbeda. Jika ditarik ke konteks Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musholla serta surat edaran dari kepolisian mengenai Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Kedua peraturan tersebut merupakan contoh dari bentuk kontekstualisasi hadis sebagai usaha pemerintah dalam menjaga kerukunan antar umat bergama. Meski demikian, perbedaan agama terus menjadi “PR” bagi masyarakat Indonesia dalam menciptakan kerukunan. Oleh karenanya, masyarakat dituntut untuk mencari titik temu atau paling tidak kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk saling menghormati dan menerima satu sama lain. %Z Dr. Nurun Najwah, M.Ag,