%0 Thesis
%9 Masters
%A RUSMAN, S.H.I, NIM. 1620310090
%B FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
%D 2018
%F digilib:35423
%I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
%K Kata kunci: Wali nikah, Taukil wali, Kyai sebagai wali.
%P 177
%T URGENSI KIAI SEBAGAI WALI DALAM PERKAWINAN  DI BANGKALAN MADURA
%U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35423/
%X Wali merupakan salah satu rukun di dalam perkawinan  dan menjadi salah sat sahnya suatu perkawinan. Meskipun  demikian, di kalangan masyarakat tertentu posisi wali nasab  tersebut diartikan dalam makna yang sangat sederhana. Artinya,  kedudukan wali hanya dijadikan formalitas belaka. Di berbagai  tempat atau daerah, termasuk di daerah kabupaten Bangkalan,  banyak sekali praktik yang memperlihatkan hal ini. Artinya wali  nasab lebih mempercayai orang lain untuk mewakilkan dirinya  dalam prosesi akad nikah tersebut. Biasanya masyarakat  mempercayakannya kepada kyai atau kepada penghulu. Fokus  penelitian ini adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan  pandangan masyarakat tentang urgensi kyai dan praktiknya  sebagai wali dalam pernikahan serta faktor-faktor yang  mempengaruhinya yang terjadi di Bangkalan Madura.  Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan  pendekatan normatif, sosiologis, dan antropologis. Sedangkan  metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitik.  Dalam metode pengumpulan data penyusun menggunakan  metode wawancara, dan dokumentasi.  Hasil dari penitian ini adalah, pertama, mayoritas  pemahaman masyarakat Bangkalan terhadap mewakilkan wali  dalam akad nikah bukan didasarkan atas pengetahuan mereka  terhadap hal tersebut, melainkan pemahaman itu didasarkan pada  praktik wali yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.  Jadi sebatas pemahaman masyarakat dibolehkannya praktik  mewakilkan wali dalam akad nikah, pengangkatan kyai sebagai  wali dalam akad nikah pada umumnya dipraktikkan oleh  masyarakat Bangkalan Madura, parawali nasab lebih memilih  menyerahkan hak dan wewenang walinya ke kyai ataupenghulu  dengan faktor tidak tidak bisa melafalkan sigat akad, tidak tahu  cara menikahkan,ta’z}imkepada kyai, karena adanya suatu kasus,  dan wali nasab jauh keberadaannya. Kedua, dilihat dari praktik  yang terjadi dilapangan, bahwa tradisi mengangkat kyai sebagai  wali dalam perkawinandi wilayah pedesaan dan penghulu pada  wilayah perkotaan, adalah sesuai dengan hukum yang berlaku,  baik dengan cara pandang hukum Islam maupun hukum positif  atau undang-undang tentang perkawinan di Indonesia, dengan  artian memposisikan kyai atau penghulu sebagai wakil wali  dalam pernikahan.Maka dengan demikian, pernikahan yang  selama ini terjadi di Bangkalan Madura dapat disimpulkan tidak  mengurangi dan membatalkan keabsahan suatu pernikahan.
%Z Dr. H. Fathorrahman, S.Ag., M.Si.