TY - THES N1 - Pembimbing : Drs. H. MALIK MADANY, M.A., BUDI RUHIATUDIN, S.Ag., M.Ag. ID - digilib3570 UR - https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3570/ A1 - RIKI MARJONO - NIM. 05360003, Y1 - 2010/02/02/ N2 - Sesungguhnya, masalah golput telah menjadi wacana klasik dalam kehidupan politik di negeri manapun termasuk Indonesia saat ini. Secara konstitusional, pilihan golput memang tidak memiliki konsekuensi hukum, selain sekedar konsekuensi moral di dalam komunitas masyarakat tertentu. Menjelang pemilu 2009 mendatang, wacana golput kembali menyeruak ke permukaan. Hal itu bermula dari pernyataan yang dilontarkan oleh mantan presiden keempat, KH. Abdurrahman Wahid, yang menyatakan quot;Kalau tidak ada yang bisa dipercaya, ngpain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa quot;.Pernyataan tersebut mengundang banyak perhatian salah satunya adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang meminta fatwa atas masalah ini. Gayung wacana kian bersambut, MUI pun memberikan sinyalemen quot;dukungannya quot; dengan mengharamkan golput dan wajib memilih dalam pemilu. Demikianlah, wacana golput akhirnya kembali menjadi fenomena kontroversial dalam kancah politik nasional. Masalah ini semakin pelik ketika fatwa haram tersebut direspon oleh salah satu organisasi fundamentalis Islam di Indonesia yaitu Majelis Mujahidin Indonesia yang menolak secara tegas fatwa haram tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman dan penafsiran surat Ali-Imran Ayat 58-59, MUI menyatakan bahwa Ayat ini mengandung prinsip-prinsip yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan umat Islam, terutama dengan urusan kekuasaan pemerintahan. Karena itu diperlukan lah seorang pemimpin yang mampu melaksanakan tugas tersebut melalui proses pemilihan dan penyeleksian langsung oleh masyarakat dan mengikutinya hukumnya wajib. Sedangkan MMI memahami ayat tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan perintah untuk memilih orang yang mengampanyekan diri sebagai pemimpin. Juga, bukan untuk menaati setiap penguasa yang dianalogikan sebagai penguasa. Ayat ini bicara tentang pemimpin yang sudah jelas komitmennya dalam melaksanakan syariat islam. Dari perbedaan pendapat tersebut apa yang kemudian menjadi landasan mereka dalam memperkuat/mempertahankan pendapatnya masing-masing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi pemikiran kedua organisasi ini mengenai hukum golput dalam pemilu di Indonesia. Membandingkan kedua pemikiran tersebut dengan meneliti persamaan dan perbedaannya, landasan pemikirannya dan relevansinya dengan fenomena golput yang terjadi saat ini di Indonesia. Secara historis-sosiologis, baik MUI maupun MMI adalah dua organisasi yang berbeda, terlepas dari haram atau tidaknya sikap golput, fenomena yang terjadi di masyakarat ternyata banyak faktor yang menjadikan mereka menjadi golput selain faktor ideologi juga ada faktor teknis, administrasi dan juga politis. Dengan demikian, kurang lah tepat kalau golput sampai divonis haram, begitu juga memilih golput karena alasan ideologi yang berbeda seperti ingin menegakkan syariat islam tentu juga tidak tepat karena semenjak negara ini merdeka berdiri di atas ideologi Pancasila bukan ideologi agama, dan hal itu sudah dianggap final. Jadi cukuplah keikutsertaan seseorang dalam pemilu itu sebagai hak yang masih sesuai dengan semangat demokrasi dan Pancasila. PB - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta KW - studi komparasi KW - hukum golput KW - pemilu KW - Majelis Ulama Indonesia KW - Majelis Mujahidin Indonesia M1 - skripsi TI - HUKUM GOLPUT DALAM PEMILU DI INDONESIA (Studi Komparasi Antara Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Mujahidin Indonesia) AV - restricted ER -