%0 Thesis %9 Skripsi %A JUANDI, NIM. 02361179 %B Fakultas Syari'ah dan Hukum %D 2006 %F digilib:35873 %I UIN Sunan Kalijaga %K WASIAT, AHLI WARIS %P 170 %T WASIAT KEPADA AHLI WARIS DALAM PANDANGAN IBN HAZM DAN MUHAMMAD SYAHRUR %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/35873/ %X Mungkin permasalahan wasiat adalah harga mati yang ditawarkan oleh ulama fiqh, perdebatan tentangnya sudah jarang dibuka kembali. Dari kalangan ulama klasik kita temukan pendapat tentang adanya kewajiban berwasiat. Itulah pendapat Ibn Hazm. Dasar yang digunakannya adalah ai-Qur'an surat ai-Baqarah ayat 180. Namun berbicara tentang wasiat kepada ahli waris temyata ia harus berlandaskan pada sebuah hadis yang melarang wasiat kepada ahli waris. Kajian Ibn Hazm ini justru saling tarik menarik antara sasaran wasiat yang ada dalam alQur'an dengan hadis larangan berwasiat kepada ahli waris. Kepada siapakah wasiat itu diberikan dan bagaimana?. Inilah pertanyaannya yang sangat mendasar. Di sisi lain, pada abad 20 kita menemukan pemikir Islam yang mencoba untuk melihat ayat-ayat wasiat dengan mengacu pada kerangka metodologi yang lebih sistematis. Sebut saja misalnya Muhammad Syahrur yang walaupun bukan dari kalangan pesantren mencoba melihat permasalahan ini dan ia berpendapat bahwa wasiat itu memang ditujukan kepada ahli waris. Kajian yang dilakukan Ibn Hazm dan Syahrur tentang wasiat kepada ahli waris saling bertolak belakang. Menarik memang untuk dicermati karena keduanya sangat terikat pada teks dalam menetapkan hukum. Kajian yang dilakukan penyusun dalam hal ini adalah dengan memperbandingkan produk hukum, sumber hukum, pendekatan, dan paradigma keduanya. Dikarenakan kajian ini bersifat normatif maka pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji teks yang ada dan menilai kualitas sumber hukum yang digunakan serta konsistensi terhadap sumber hukumnya. Namun pada akhimya penyusun ingin melihat relevansi pendapat keduanya terhadap hukum kewarisan Islam di Indonesia. Berdasarkan pengamatan yang mendalam ditemukanlah alasan Ibn Hazm berpendapat bahwa wasiat hanya ditujukan kepada ahli waris yang tidak mendapat jatah warisan adalah adanya penghapusan sebagain ketentuan wasiat yang terdapat dalam al-Qur'an dengan ayat-ayat kewarisan dan juga hadis yang melarang berwasiat kepada ahli waris. Alasan adanya nasakh mansukh antara al-Qur'an dengan ai-Qur'an maupun ai-Qur'an dengan hadis inilah pada dasamya mempengaruhi pendapatnya tentang wasiat kepada ahli waris. Kemudian ia mengkompromikan kewajiban wasiat dengan larangan wasiat kepada ahli waris. Sedangkan Syahrur tidak melihat adanya nasakh mansukh antara ayat-ayat hukum dalam satu risalah, sehingga ia berpendapat bahwa wasiat kepada ahli waris adalah ketentuan Allah yang dijelaskan dalam ai-Qur'an. Bahkan ketentuan wasiat tidak hanya untuk ahli waris saja melainkan lebih luas pada pihak-pihak yang tidak tersentuh hukum waris. Relevansi kedua pendapat tokoh ini dengan hukum kewarisan Indonesia hanya ditemukan dalam Pasal 209 KHI yaitu adanya kewajiban berwasiat (wasiat wajibah) kepada anak asuh. Namun pendapat keduanya sangat berperan dalam mengembangkan hukum wasiat di Indonesia baik dalam jumlah yang ditentukan maupun sasaran-saran wasiat. %Z 1. DRS. RIYANTA, M.HUM 2. DR. AINURRAFIQ, M.AG