@phdthesis{digilib36132, month = {May}, title = {HUKUM TIDAK MENYALATKAN MAYIT PELAKU KORUPSI: STUDI PERBANDINGAN MAZHAB SYAFI?I DAN MAZHAB HAMBALI}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM: 15360023 LUKMAN FARISI}, year = {2019}, note = {FUAD MUSTAFID, S.Ag., M.Ag.}, keywords = {Mazhab Syafi?i, Mazhab Hambali, tidak menyalatkan mayit pelaku korupsi}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36132/}, abstract = {Pelaku tindak pidana korupsi sangat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik mereka menyadarinya atau tidak. Sanksi untuk koruptor secara yuridis telah dipaparkan dalam Undang-undang tindak pidana korupsi. Sementara sanksi sosial terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat kita jumpai dalam suatu hadis nabi saat perang Khaibar, yakni Rasul tidak berkenan untuk menyalatkan pelaku korupsi tersebut dan memerintahkan para sahabat untuk menyalatkan jenazahnya, namun ternyata ada perbedaan pemahaman hukum antara Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi?i terkait hadis tersebut. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti dari sisi apa saja yang berbeda dari pandangan kedua mazhab tersebut dan hal apa saja yang melatarbelakangi perbedaan pandangan kedua mazhab tersebut terkait hukum tidak menyalatkan mayit pelaku korupsi. Sifat penelitian ini ialah deskriptif analitis. Sementara jenis dari penelitiannya ialah library research atau penelitian kepustakaan, sedangkan teknis analisis data yang penulis gunakan ialah analisis komparatif dengan pendekatan u l fikih. Dalam penelitian ini teori yang digunakan ialah Al-ikhtil{\^a}f f {\^i} fahmi an-na , qiyas adna, dan , yakni terjadinya perbedaan pendapat antara Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi?i disebabkan oleh berbedanya mereka dalam cara memahami hadis di perang Khaibar tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Mazhab Syafi?i berpendapat bahwa mayit pelaku korupsi (muslim) tetap memiliki hak untuk disalatkan, sebagaimana jenazah yang lain, baik itu oleh para tokoh dan pemuka agama maupun rakyat biasa. Hal ini berbeda dengan pandangan Mazhab Hambali yang berpendapat bahwa mayit pelaku korupsi (muslim) boleh disalatkan bagi sekalian umat muslim, kecuali para tokoh dan pemuka agama. Adapun yang menjadi penyebab berbedanya pendapat kedua mazhab di atas adalah perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap sebuah hadis nabi tentang wafatnya salah seorang sahabat nabi di dalam medan perang Khaibar. Mazhab Syafi?i memahami hadis tersebut bahwa Rasulullah Muhammad SAW. enggan untuk menyalatkan mayit/jenazah pelaku penggelapan atau korupsi pada hadis di atas ialah hanya dikhususkan kepada nabi seorang, sehingga selain Nabi Muhammad SAW. tetap menyalatkan mayit/jenazah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan perintahnya yang berbunyi s oll ? l so b m (salatilah jenazah kawan kalian!) kepada para sahabat agar tetap menyalatkan mayit/jenazah pelaku korupsi tersebut. Sementara itu Mazhab Hambali memahami hadis tersebut bahwasanya kalimat ll ? l b m (Salatilah jenazah kawan kalian!) adalah perintah bagi seluruh umat Islam untuk menyalatkan jenazah seorang muslim, sedangkan tidak menyalatkannya Nabi Muhammad atas sahabat pelaku korupsi tersebut adalah isyarat (yang hanya dikhususkan) bagi para tokoh dan pemuka agama saja, supaya tidak menyalatkan mayit pelaku korupsi tersebut. Kata kunci: Mazhab Syafi?i, Mazhab Hambali, tidak menyalatkan mayit pelaku korupsi} }