@phdthesis{digilib36310, month = {September}, title = {PENAFSIRAN AL-QURTUBI TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TAFSIR AL-JAMI'LI AHKAM AL-QUR'AN}, school = {UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA}, author = {NIM: 01530731 RUSDATUL INAYAH}, year = {2006}, note = {Drs.Muhammad Mansur, M.Ag. - Muhammad Hidayat Noor, S.Ag, M.Ag.}, keywords = {PENAFSIRAN, AL-QURTUBI,PERKAWINAN BEDA AGAMA,TAFSIR AL-JAMI'LI AHKAM AL-QUR'AN}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36310/}, abstract = {Perkawinan merupakan satu fenomena kemanusiaan yang niscaya keberadaannya. Karena melalui perkawinan, kontinuitas kesejarahan manusia dibangun dan dipertahankan. Seiring dengan masuknya agama dan budaya dalam mainstream berpikir masyarakat, persoalan perkawinan kemudian tidak lagi sesederhana sebagai momentum untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan sejarah. Perkawinan kemudian menjadi kawasan yang sarat dengan ritualitas serta simbol social, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Tidak terkecuali dalam konteks masyarakat muslim, yang menjadikan hukum fikih sebagai sumber legitimasi sah tidaknya suatu perkawinan. Salah satu substansi kaidah fikih yang kerap mengundang perdebatan hingga sekarang, adalah menyangkut perkawinan beda agama. Dalam hal ini, ulama terpecah ke dalam dua friksi, yaitu sebagian membolehkan dan sebagian lagi menolak. Al-Qurtubi, setidaknya merupakan salah satu di antara ulama yang membolehkan. Dalam karyanya, TafSir al Jami' li Ahkam al-Qur'an, secara detail ia jelaskan dinamika perdebatan ulama seputar boleh tidaknya perkawinan beda agama, tanpa melewatkan argumentasinya sendiri terkait keberpihakannya kepada ulama yang membolehkan perkawinan beda agama. Dengan metode deskriptif-analitis, penulis menelisik beberapa ayat yang oleh al Qurtubi dijadikan hujjah tentang kebolehan perkawinan beda agama, seperti di Q.S. al Baqarah [2]: 221 dan al-Maidah [5]: 5. Dalam hal ini, penulis awali dengan membedah secara utuh pemaknaan al-Qurtubi terhadap ? beberapa terminology penting yang sering kali disebut sebagai representasi dari konteks beda agama, yaitu terminology Ahl al-Kitab dan Musyrik. Setelah itu, penulis mendeskripsikan analisa historis al-Qurtubi terkait kebolehan perkawinan beda agama. Al-Qurtubi sebagai ulama ahli tafsir memandang bahwa dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 221 pada awalnya adalah sebagai larangan seorang muslim untuk menikah dengan orang musyrik, kemudian Allah menaskh hukum tersebut dengan wanita-wanita Ahl alKitib sehingga Allah menghalalkannya sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah [5]: 5. Ungkapan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 221 tersebut adalah umum untuk semua wanita kafir, akan tetapi maksud ayat khusus untuk wanita-wanita Ahl al-Kitab, dan kehususan tersebut ditunjukkan dalam sebuah ayat dalam Q.S. al-Maidah [5]: 5, maka kemumuman tersebut sama sekali tidak bersangkut paut dengan wanita Ahl al-Kitab. Al Qurtubi menyatakan bahwa kedua ayat di atas tidaklah bertentangan,. Karena secara lahir, kata "syirk' tidak mencakup Ahl al-Kitab. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 105 dan al-Bayyinah: 1, di mana Allah membedakan ungkapan untuk mereka, karena susunan 'athaf pada kedua ayat tersebut menghendaki sesuatu yang berlainan, antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih. Kontribusi pengetahuan yang dapat dihasilkan dari penelitian ini, pertama, bahwasanya masalah hukum perkawinan beda agama merupakan kawasan yang terbuka akan perdebatan dan penafsiran (never ending interpretation). Kedua, konteks Ahl al Kitab tidak bisa dikaburkan atau disamakan begitu saja dengan konteks musyrik, karena kedua istilah ini memiliki sejarah yang berbeda. Ketiga, sejauh perkawinan beda agama tersebut banyak mendatangkan kemaslahatan seperti tidak memperkecil ruang konflik sosial, maka memperbolehkan perkawinan beda agama tersebut bisa menjadi solusi yang baik.} }