TY - THES N1 - Pembimbing : 1. Drs. ABD. HALIM, M.Hum 2. FATHURRAHMAN, SAg, M.Si ID - digilib3795 UR - https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3795/ A1 - AHMAD NURYANI - NIM: 01360906, Y1 - 2010/02/19/ N2 - Islam memberikan jalan yang baik lagi mulia untuk menyalurkan hasrat seksual seseorang, yaitu dengan jalan pernikahan. Namun ketika kemampuan seseorang untuk melaksanakan pernikahan tidak mampu, begitu pula dengan menjalankan puasa, maka tentunya ia akan melakukan segala cara demi terpenuhinya hasrat seksualnya. Di antara jalan yang sering kali ditempuh guna pemuasan seksual, di antaranya adalah dengan melakukan istimn a' . Ditambah dengan aggapan masyarakat yang menganggap bahwa istimn a' adalah lebih baik dari pada berzina, maka tak heran jika perilaku istimn a' ini kemudian menggejala di kalangan remaja pada khususnya, perbuatan istimn a' ini dianggap sebagai solusi atau cara bagi mereka untuk mengatasi/menghindari dari perbuatan zina secara langsung, sehingga tindak seksual ini sering dilakukakn secara rutin oleh kalangan remaja, bahkan orang yang sudah berkeluarga sekalipun. Sebagian besar dari ulama' mengharamkan perbuatan istimn a' ini, salah satu tokoh ulama madzhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan istimn a' ini adalah: Imam as-Syafi'i. Dasar hukum yang dijadikan oleh Imam as-Syafi'i dalam menetapkan hukum istimn a' adalah: firman Allah S.W.T dalam al-Qur'an surat al-Mu'minun ayat 5- 6, di mana dalam ayat tersebut hanya ada dua hal yang yang diperbolehkan untuk dijima', yaitu dengan istri dan budaknya. Sehingga istimn a' diharamkan karena tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Dan hal itu diperkuat dengan ayat selanjutyna dalam surat yang sama, selai itu imam as-Syafi'i juga melihat dari segi etika moral yang ternyata perbuatan istimn a' tidak sesuai dengan akhlakul karimah dan tidak termasuk dalam tindakan terpuji. Imam Ahmad ibn Hanbal, yang juga merupakan salah satu ulama' madzab mengatakan, bahwa istimn a' itu hukumnya makruh/tidak berdosa (la isma fihi), engan mengqiyaskan kepada al-hija mah (berbekam) maka Imam Ahmad ibn Hanbal membolehkan perbuatan istimn a' tersebut, argument beliau berkaitan tentang pembolehan melakukan istimn a' adalah, karena mani adalah barang berlebih dari tubuh maka kita boleh membuang barang itu dari tubuh kita, sebagaimana orang yeng melakukan bekam. Selain berdasarkan pada qiyas terhadap bekam, Imam Ahmad ibn Hanbal juga berargumen lain tentang kebolehan ber istimn a', menurut beliau istimn a' boleh dilakukan dalam kondisi terdesak, misalnya pada saat peperangan dan jauh dari keluarga, ataupun di dalam penjara, maka ketika dalam kondisi seperti itu dan gharizah nafsu tidak dapat ditahan lagi, maka seseorang itu boleh melakukan istimn a'. Sementara itu pula Allah berfirman dalam surat al-An'am ayat 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang telah di haramkannya, sementara dalam al-Qur'an tidak ditemukan tentang keharaman istimn a'. Namun meskipun istimn a' diperbolehkan, Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap bahwa istimn a' adalah termasuk ke dalam perbuatan yang tidak terpuji. Sedangkan dalam pandangan medis, istimn a' secara realitas membuktikan bahwa istimn a' mempunyai dampak positif dalam penanggulangan kanker prostate, secara psikologipun sedikit banyak ada manfaat dan kerugian yang dirasakan. Akan tetapi kecenderungan, berbagai dampak akan kembali kepada pelaku sendiri dalam menyikapi istimn a' tersebut. PB - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta KW - Hukum istimna KW - Setudi Komparatif M1 - skripsi TI - HUKUM ISTIMNA? (STUDI KOMPARATIF ANTARA IMAM AS-SYAFI?I DAN IMAM AHMAD IBN HANBAL) AV - restricted ER -