@phdthesis{digilib37955, month = {August}, title = {KONSEP KHABAR AL-WAHID MENURUT IMAM SYAFI?I DALAM KITAB AL-RISALAH}, school = {UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM. 15551019 SHOLAHUDDIN ZAMZAMBELA}, year = {2019}, note = {Drs. Indal Abror, M.Ag}, keywords = {hadis, khabar, a{\ensuremath{>}}ha{\ensuremath{>}}d, wa{\ensuremath{>}}hid, Imam Syafi?i, al-Risa{\ensuremath{>}}lah.}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/37955/}, abstract = {Diskursus perihal berhujjah dengan hadis masih terdapat berbagai pendapat di dalamnya, terlebih berkaitan dengan hukum yang berlandaskan hadis a{\ensuremath{>}}ha{\ensuremath{>}}d atau hadis al-wa{\ensuremath{>}}h\}id. Perbedaan pendapat yang terdjadi tidak hanya di kalangan ulama hadis saja, melainkan juga di lingkungan ulama fikih dan us\}u{\ensuremath{>}}l. Problematika di dalam hadis al-wa{\ensuremath{>}}h\}id kemudian menjadi semakin kompleks dengan ditambahnya golongan inka{\ensuremath{>}}r al-sunnah yang menolak hadis sebagai hujjah. Dalam kitabnya al-Risa{\ensuremath{>}}lah terlihat bagaimana Imam Syafi?i menyangkal seluruh argumentasi para golongan yang menolak berhujjah dengan hadis. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran al-Syafi?i dalam kitab al-Risa{\ensuremath{>}}lah ini, penulis mengguakan metode deskriptik-analitik. Dengan begitu akan diketahui bagaimana bangunan pemikiran Imam Syafi?i tentang hadis al-wa{\ensuremath{>}}h\}id yang di dalam kitab al-Risa{\ensuremath{>}}lah yang dibahasakan dengan khabar al-wa{\ensuremath{>}}hid. Selain itu, kemudian dengan melihat data-data yang berkaitan dengan sejarah pada era klasik, penulis berusaha melihat bagaimana kontribusi yang telah diberikan oleh Imam Syafi?i dengan kitabnya al-Risa{\ensuremath{>}}lah. Terminologi khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id oleh Imam Syafi?i dengan khabar al-a{\ensuremath{>}}ha{\ensuremath{>}}d oleh ahli hadis setelahnya agaknya terdapat perbedaan pengertian. Yakni pada jumlah yang dimaksud pada masing-masing. A{\ensuremath{>}}ha{\ensuremath{>}}d diartikan dengan jumlah yang lebih dari tiga yang tidak mencapai mutawa{\ensuremath{>}}tir, sementara Imam Syafi?i mengartikannya hanya satu. Walaupun demikian keduanya mempunyai kesamaan bahwasanya khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id dan khabar a{\ensuremath{>}}h\}a{\ensuremath{>}}d tidaklah mencapai derajat mutawa{\ensuremath{>}}tir. Al-Syafi?i merupakan yang menggunakan khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id sebagai legistimasi hukumnya. Dalam hal ini al-Syafi?i menetapkan syarat yang ia buat sendiri untuk setiap khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id. Menurutnya khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id tersebut harus dibawa oleh orang yang jujur, memahami setiap hal yang dapat menyebabkan adanya perubahan makna dalam setiap lafaz\}, memiliki kekuatan hafalan, tidak bertentangan dengan perawi yang s{\ensuremath{|}}iqah, dan terbebas dari tuduhan mudallas. Adapun berkenaan dengan redaksi khabar, Imam Syafi?i mensyaratkan periwayatan dengan lafz{$\backslash$}i. Para ulama hadis sebelumnya hanya menjelaskan tentang penerimaan berita yang dapat dipegangi. Sementara di kalangan ulama fikih dan us\}u{\ensuremath{>}}l fiqh sebelumnya saling berdebat perihal hukum, tanpa adanya pegangan yang menjadi undang-undang dalam menentukan suatu dasar yang dapat dipegangi. Imam Syafi?i kemudian dengan tegas dan terperinci memberikan syarat perihal berhujjah dengan khabar al-wa{\ensuremath{>}}h\}id.} }