%0 Book %A Arif, Mahmud %C YOGYAKARTA %D 2015 %F digilib:39360 %I Penerbit OMBAK %P 125 %T TAFSIR PENDIDIKAN Makna Edukasi Alqur'an dan Aktualisasi Pembelajarannya %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/39360/ %V 1 %X Di kalangan umat Islam, al-Qur’an menempati kedudukan istimewa mengingat kitab suci ini diyakini sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan untuk pedoman hidup mereka dan membacanya bernilai ibadah. Namun demikian, kedudukan istimewa tersebut ternyata belum menimbulkan dampak transformatif yang diharapkan sesuai fungsi petunjuknya bagi kehidupan. Menurut pandangan dominan, al-Qur’an adalah sumber hukum Islam. Pandangan ini menempatkan al-Qur’an sebagai kitab suci yang sarat memuat al-ahkam al-syar’iyah (pelbagai ketentuan hukum agama), semisal: halal, haram, wajib, dan sunah, dan menempatkan setiap muslim sebagai mukallaf (subyek yang dibebani tanggungjawab). Memang tidak ada yang salah pada pandangan itu, akan tetapi akibat terlalu kuatnya pengaruh fiqih, tidak jarang umat Islam menjadi kurang peka dalam meresapi preskripsi edukatif al-Qur’an, apalagi memformulasikannya menjadi suatu “perspektif” pendidikan. Mereka terlanjur sibuk dengan kerja intelektual menggali kandungan isi al-Qur’an dan memfungsikannya untuk landasan argumen hukum dalam menentukan hitam-putihnya perilaku manusia. Di sini, eksistensi al-Qur’an lebih dirasakan kaya akan ketentuan yang mengatur daripada dirasakan kaya advokasi moral. Pada yang pertama, manusia dituntut bersedia tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan untuknya, manusia dituntut untuk “tertib” melalui taat aturan, sedangkan pada yang kedua, manusia diseru untuk memiliki kesadaran dan diberdayakan agar mau dan mampu berpikir kritis dan bertindak secara bijak dalam rangka menata kehidupannya selaras dengan tuntunan Ilahi. Dalam kaitan itu, perspektif pendidikan bermaksud mengelaborasi advokasi moral dalam kandungan isi al-Qur’an sehingga eksistensi kitab suci ini dirasakan menjadi pemandu manusia dalam membangun kesadaran dan keberdayaan diri guna mengemban dan merealisasikan mandat kekhalifahan di muka bumi. Dengan perspektif ini akan terlihat bahwasanya advokasi qur’ani memperlakukan manusia tidak sekedar menjadi subyek yang dikenai tanggungjawab melainkan juga subyek yang bertanggungjawab, memposisikan manusia tidak sebatas harus tunduk dan patuh, melainkan juga harus kritis dan kreatif, mengingat ia adalah subyek yang secara potensial memiliki kemampuan melaksanakan titah Tuhan. Sewajarnya, jika ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali turun kepada Nabi Saw justru menyeru manusia untuk “membaca”. Bahkan berdasarkan advokasi wahyu pertama kali ini, Prof. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh al-Azhar Kairo, secara tegas menyebut al-Qur’an sebagai kitab pendidikan. Ini berarti al-Qur’an sarat mengandung preskripsi edukatif yang dengan kesanggupan dan kesungguhan “ijtihad”, kita sangat mungkin bisa memformulasikan suatu perspektif kependidikan qur’ani melalui upaya interpretatif terhadap pelbagai ayat al-Qur’an yang relevan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli fiqih dengan pendekatan tafsir (interpretasi) ayat ahkam-nya. Apabila selama ini dalam tafsir al-Qur’an dikenal nuansa fiqih, kalam, sastra, dan tasawuf misalnya, maka tidak berlebihan sekiranya kini saatnya diperkenalkan juga nuansa pendidikan. Memperkenalkan nuansa pendidikan merupakan bagian yang sah dari ikhtiar untuk lebih bisa memahami dan meresapi keutuhan kandungan al-Qur’an, karena “tidaklah seseorang bisa disebut sebagai memahami dalam arti yang sebenarnya hingga ia mampu melihat multidimensi al-Qur’an”, begitu kurang lebih bunyi sebuah dalil yang pernah dikutip oleh Prof. Mohammed Arkoun.