<> "The repository administrator has not yet configured an RDF license."^^ . <> . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie"^^ . "lhamdulillah, segala pujian dan panjat syukur semata\r\nAllah-lah yng berhak memilikinya. Tuhan pemiliki\r\nsegala kemuliaan telah melimpahkan keselamatan\r\ndan kesejahteraan kepada para utusan-Nya, kepada umat\r\nmanusia yang menyatakan patuh kepadan-Nya secara tulus dan\r\nmewujudkannya dalam komitmen yang kuat pada\r\npemberdayaan umat manusia dan kemanusiaan.\r\nBuku yang ada di tangan pembaca, sesungguhnya merupakan\r\nsuatu bentuk syukur persembahan Prof. Dr. H. Musa\r\nAsy‘arie diusia yang ke-60 tahun di tahun 2011, dengan\r\nmengajak para intelektual dan praktisi yang memiliki kegelisahan\r\nmendalam atas persoalan-persoalan kebudayaan dan\r\nkebangsaan berkontribusi memberikan jawaban-jawaban atas\r\npersoalan-persoalan tersebut yang diekspresikannya dalam\r\nwujud karya. Komitmen tinggi bang Musa (red. nama panggilan\r\nkesayangan para murid dan kolega Beliau) terhadap persoalanpersoalan\r\ntersebut, meliputi persoalan pendidikan, filsafat,\r\nagama, ekonomi, politik, kemiskinan, dan kebudayaan selama\r\nvi\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nini mewujud dalam karya nyata sebagai seorang Akademisi,\r\nPengusaha dan Birokrat.\r\nPercikan-percikan pemikiran dalam buku ini merupakan\r\nrangkaian pemikiran yang terbagi menjadi tiga bagian. Bagian\r\npertama: Agama, Radikalisme dan problem Kebudayaan,\r\nmeliputi kajian agama yang ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan\r\nyang membicarakan tentang dialektika agama dan kebudayaan\r\nbagi pembebasan. Kontekstualisasinya dengan pemikiran Musa\r\nAsy‘arie terletak pada semangat dan ruh atas keprihatinannya\r\npada bangsa. Menurut Musa, sebagaimana dijelaskan dalam\r\nbuku Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual (2002),\r\nmenegaskan bahwa sejarah agama pada hakikatnya lahir untuk\r\npembebasan dari penderitaan, penindasan kekuasaan sang tiran\r\nuntuk kedamaian hidup. Agama Islam dan juga agama-agama\r\nyang berpusat pada Ibrahim lainnya (Abrahamic Religions) seperti\r\nKristen dan Yahudi, bahkan juga Budha, Hindhu dan\r\nKonghucu, semuanya untuk manusia, agar dapat berdiri bebas\r\ndi hadapan Tuhannya secara benar, yang diaktualisasikan\r\ndengan taat kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan\r\nsesama, bertindak adil dan menjaga diri, dari perbuatan yang\r\ntidak baik serta perintah taqwa. Semua pesan sentral dari\r\nadanya pembebasan itu, disampaikan secara jelas dalam kitab\r\nsuci masing-masing agama, baik Alquran, Injil, Taurat bahkan\r\njuga Wedha dan kitab suci yang lainnya lagi, yang sarat dengan\r\najaran ketuhanan, moralitas dari kemanusiaan yang universal.\r\nMusa Asy‘arie meyakini, bahwa “berpikir ibu kandung\r\nperbuatan”. Kaitannya dengan pikiran Haryatmoko tentang\r\nvii\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nkapitalisme baru memacu radikalisme, Musa menegaskan,\r\nsebagaimana dijelaskan dalam buku Islam, Etos Kerja dan\r\nPemberdayaan Ekonomi Umat (1997), bahwa ekonomi yang\r\nberkeadilan mampu menutup kantung-kantung konflik pada\r\nmasyarakat kalangan bawah khususnya, sehingga penting\r\nkiranya menjadikan etos kerja merupakan semangat bekerja\r\natau berkarya yang tinggi. Bekerja pada hakikatnya merupakan\r\nproses membangun suatu kepribadian. Melalui bekerja\r\nseseorang membangun pribadinya, untuk memperkokoh peran\r\nkemanusiaannya dalam realitas kehidupan sosial. Dalam tahap\r\nini bekerja menjadi proses pembebasan dan peneguhan kemanusiaan,\r\nyaitu untuk mengembangkan pribadinya secara\r\noptimal, menjelajahi medan pengembangan kreatif yang tidak\r\npernah kering, dengan membuka usaha terus-menerus untuk\r\nmenciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, sebagai\r\npancaran kekayaan spiritualitas dari etos kerjanya, dalam\r\nkedalaman penguasaan dirinya yang bermuatan cahaya Ilahi.\r\nJika seseorang memiliki etos kerja tinggi di dalam mengerjakan\r\nsesuatu, terlebih tidak terjebak dalam arus permainan kapitalisme,\r\nmaka radikalisme cenderung kesulitan menemukan polapola\r\nrekruitmen di dalam memanfaatkan titik lemah.\r\nBagaimanapun, kapitalisme dan radikalisme telah menjadi\r\nkebudayaan tersendiri. Di sini menjadi penting memperhatikan\r\nentitas minoritas masyarakat kita di display di wilayah publik,\r\nagar diketahui pokok permasalahannya. Sebab, menurut\r\nKoeswinarno yang menulis tentang dekonstruksi dan representasi\r\nkebudayaan pada entitas minoritas, bahwa\r\nkebudayaan adalah menafsirkan simbol-simbol yang hidup\r\nviii\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\ndalam masyarakat.\r\nBagian kedua: Filsafat, Pendidikan dan Kesejahteraan\r\nRakyat, diawali tulisan St. Sunardi yang mendiskusikan tentang\r\ndua jalan sosialisme dan reformasi moral-intelektual: Gramsci\r\ndan Musollini. Sejatinya, moral-intelektual merupakan suatu\r\npra-syarat yang mesti diperjuangkan dalam ranah apapun,\r\nterlebih dalam dunia pendidikan. Konteksnya dengan\r\npemikiran Musa Asy‘arie tentang pendidikan kita anti realitas\r\n(Kompas, 2002), pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi\r\nintelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen\r\nkehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan\r\nmelalui logika dan diformulasikan menjadi\r\nrumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami, realitas\r\nyang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan bersifat\r\nterbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya.\r\nSuatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dicerapnya\r\nselalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat\r\nsementara pula. Karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghapal\r\nteori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas\r\nitu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghapal teoriteori\r\ntentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah,\r\nsehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.\r\nPada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa\r\ndunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori\r\nbelaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul\r\ndan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori\r\nitu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah\r\nix\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nberubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya,\r\nmereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di\r\nsekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap\r\nrealitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tak\r\npernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila\r\nkita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka\r\nhabislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama\r\nsekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya\r\nmendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda\r\ntamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.\r\nPendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai\r\nsuatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan\r\nmemindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik\r\nuntuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan\r\nteori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar.\r\nKegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan\r\nmelakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan,\r\nmetodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan\r\nfakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah\r\nmenggugah kesadaran pikiran anak didik. Kaitan dengan\r\nkonteks tersebut di atas, Agus Nuryatno menulis pendidikan\r\nemansipatif-pluralis: mengkaji pemikiran pendidikan Musa\r\nAsy‘arie, yang memiliki spirit dan ruh yang sama sebagai suatu\r\nkegelisahan atas realita dunia pendidikan dewasa ini. Bagian\r\nkedua ini diakhiri tulisan Muhammad tentang tatanan ekonomi\r\nkesejahteraan di Indonesia perspektif Ekonomi Islam.\r\nBerbicara soal ekonomi kesejahteraan, buku berjudul Islam,\r\nEtos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (1997) menjelaskan\r\nx\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nbahwa dalam ekonomi Islam dikenal beberapa prinsip, yaitu\r\npertama, pemilikan yang terbatas dan tidak mutlak. Artinya,\r\npemilikan harta dan kekayaan oleh setiap individu adalah\r\npemilikan yang bersifat relatif, terbatas dan sementara\r\nsepanjang kehidupannya di dunia saja, sebab pemilik mutlak\r\nadalah Tuhan sendiri, dan kekayaan yang diperoleh setiap\r\nindividu pada dasarnya tidak pernah dapat dilepaskan dari\r\nketerlibatan orang lain di dalamnya, seperti untuk menjadi\r\npintar, diperlukan proses belajar yang melibatkan orang lain,\r\nyaitu guru dan teman belajar. Untuk menciptakan sesuatu,\r\ndiperlukan bantuan orang lain untuk menyediakan sarana yang\r\ndiperlukan, seperti peralatan dan teknologi, dan untuk membangun\r\nperusahaan yang maju, diperlukan karyawan yang\r\nkreatif, jujur dan berpengalaman. Kesuksesan yang diraih\r\nseseorang pada dasarnya bukan kesuksesan sendiri saja, sebab\r\ndi dalamnya melibatkan banyak orang yang ikut andil dalam\r\nmembantu mewujudkan kesuksesan itu, baik secara langsung\r\nataupun tidak langsung. Kedua, ekonomi Islam adalah ekonomi\r\nyang berbasis pada prinsip keadilan, baik dalam hal pemilikan,\r\npembagian kuntungan, maupun tanggung jawab sosial. Prinsip\r\nkeadilan itu tampak pada penjelasan Alquran surat Al-An’am\r\nayat 152 yang mengatakan: “Dan sempurnakanlah takaran dan\r\ntimbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada\r\nseseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan\r\napabila mereka berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,\r\nkendatipun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah\r\nyang diperintahkan Allah kepadamu, agar kamu selalu ingat.”\r\nxi\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nBagian Ketiga: Politik dan Problem Kebangsaan, diawali\r\ntulisan Moch. Nur Ichwan tentang rethinking al-Amr bi l-Ma‘ruf\r\nwa n-Nahy ‘an al-Munkar: etika politik dalam bingkai post-Islamisme.\r\nKontekstualisasinya dengan pikiran Musa Asy’arie dapat\r\nkita temukan dalam buku Dialektika Agama untuk Pembebasan\r\nSpiritual (2002), yang menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab,\r\nal-ma’ruf artinya yang sudah dikenal semua orang sebagai hal\r\nyang baik dan semua orang menerimanya, seperti menghormati\r\norang tua atau gurunya, sedangkan al-munkar adalah sesuatu\r\nyang semua orang menolaknya, seperti menyakiti ibunya atau\r\nanaknya. Tidak pandang agamanya, suku dan ideologi politiknya,\r\nsemua akan menolak al-munkar. Dengan kata lain, kebaikan\r\ndan kemungkaran yang ditegaskan al-Qur’an sebagai bagian\r\ndari kemitmen rakyat yang berada di jalan yang benar, yaitu\r\nkomitmen untuk mengajak dan melakukan kebaikan, al-ma’ruf\r\ndan mencegah dan menolak kejahatan, al-munkar yang semuanya\r\nitu bersifat universal. Oleh karena itu, ungkapan “suara\r\nrakyat adalah suara Tuhan” harus dipahamim dalam konteks\r\nmoralitas. artinya sepanjang rakyat itu berada dalam komitmen\r\ndan koridor moral atau akhlakul-karimah. Sebaliknya jika\r\nrakyat berada di jalan yang tak benar yaitu melawan al-ma’ruf\r\ndan melakukan al-munkar, maka rakyat yang demikian berlawanan\r\ndengan moralitas universal, dan karenanya bukan suara\r\nTuhan. Dalam tahap ini, maka harus ada kekuatan dari dalam\r\nrakyat itu sendiri yang selalu mengingatkan dan menyadarkan\r\nterhadap nilai-nilai moralitas universal itu, sehingga kekuatan\r\nrakyat dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan yang sesuai dengan\r\nmoralitas universal itu. Jika tidak, rakyat itu sendiri yang secara\r\nxii\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nkeseluruhan akan rugi dan jatuh.\r\nBerbeda halnya dengan yang terjadi di Timur Tengah,\r\nsoal moralitas dan kekuatan rakyat. Menurut tulisan Sidik\r\njatmika tentang kepepimpinan Arab, ada apa denganmu?\r\nBahwa penghujung akhir tahun 2011 ini merupakan tahun\r\nburam bagi rakyat Timur Tengah di bawah kepemimpinan\r\nArab. Lihat saja, bagaimana seorang presiden mempertahankan\r\nkekuasaannya sampai berdarah-darah meski sudah diambil\r\nalih rakyat secara berdarah-darah pula. Lihat Muammar\r\nKhaddafi, Pemimpin Besar Revolusi Rakyat yang telah\r\nmemimpin Libya selama 42 tahun (1969-2011) akhirnya tewas\r\ndengan cara tragis setelah ditembak kepala dan kedua kakinya.\r\nSaat ditemukan hidup-hidup oleh pasukan oleh pasukan\r\npemberontak yang tergabung dalam Dewan Transisi Nasional\r\n(NTC), ia tengah bersembunyi di sebuah lubang di bawah\r\ntanah dan sempat memohon, “Jangan tembak! Jangan\r\ntembak!”. Penembakan terhadap Khaddafi terjadi tidak lama\r\nsetelah kejatuhan Sirte ke tangan tentara revolusioner. Nasib\r\nKhaddafi kian tragis, karena jenazahnya pun tidak diperlakukan\r\ndengan layak. Dalam kondisi yang hampir membusuk setelah\r\nhampir sepekan dipamerkan di sebuah pasar di Sirte, akhirnya\r\njenazah mantan pemimpin Libya Muammar Khaddafy dimakamkan\r\ndalam sebuah upacara sederhana di padang gurun\r\nyang dirahasiakan. Tragedi Khaddafi telah memperpanjang\r\nderetan kisah tragis yang menimpa beberapa pemimpin Arab\r\npada abad ke-21. Sebelumnya, nasib serupa menimpa Presiden\r\nTunisia Zine Al-Abidine Ben Ali. Pemimpin yang telah\r\nberkuasa 23 tahun itu, akibat Revolusi Yasmin akhirnya\r\nxiii\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nmelarikan diri ke luar negeri pada tanggal 14 Januari 2010.\r\nHal serupa juga terjadi pada Presiden Mesir Husni Mubarak.\r\nSetelah kuwalahan menghadapi demonstrasi rakyat selama 18\r\nhari, akhirnya Presiden Mubarak mundur pada tanggal 11\r\nFebruari 2011 dan kemudian diadili.\r\nMemahami konteks tulisan tersebut, penting kiranya\r\nmelihat tulisan Musa Asy‘arie dalam buku Keluar dari Krisis Multi\r\nDimensi (2001). Menurutnya, kekuasaan yang menanggung\r\nmasalah kemanusiaan berdarah-darah, diakibatkan oleh\r\nbanyaknya permasalahan yang melanda negeri. Bagi Musa,\r\nlangkah teknis penyelesaiannya adalah memahami masalah dari\r\nmulti dimensional. Artinya, melihat dan memahami masalah\r\ndari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, maka masalah\r\ndapat diurai dan persoalan pun dapat diselesaikan.\r\nBagian ini diakhiri tulisan Zuly Qodir tentang kemiskinan\r\nsebagai problem struktural, membangun keberpihakan pada\r\nkaum mustad‘afien. Masalah kemiskinan, Musa Asy‘arie memahami\r\ndari sisi berbeda. Baginya, sesungguhnya masalah\r\nkemiskinan bukanlah masalah ekonomi semata-mata, tapi\r\nbersifat multidimensi, bersentuhan dengan berbagai dimensi\r\nkehidupan manusia, baik sosial, politik, budaya maupun agama.\r\nOleh karena itu, masalah kemiskinan tak mungkin dapat\r\ndiselesaikan hanya dengan menggunakan pendekatan tunggal\r\n(ekonomi), melainkan harus memperhatikan berbagai aspek\r\nlainnya tersebut. Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadisnya\r\nmenyatakan, kada al-faqru an-yakuna kufran, hampir-hampir\r\nkemiskinan menjadikan kekufuran. Kiranya hadis ini dapat\r\nxiv\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\ndimaklumi, karena dalam banyak fenomena kehidupan sosial,\r\nkemiskinan sering kali mendorong seseorang untuk melakukan\r\nkejahatan. Seorang pencuri melakukan tindakan pencurian tidak\r\njarang karena tidak lagi pekerjaan produktif yang tidak dapat\r\ndilakukan, sementara beban hidup yang dia tanggung semakin\r\nberat saja. Pun seorang pelacur, dia melacurkan diri tidak\r\njarang karena alasan ekonomi, lagi-lagi masalah kemiskinan.\r\nNabi Muhammad saw., juga menegaskan, yadu al-ulya\r\nkhairun min-yadi al-sufla, tangan di atas lebih baik daripada\r\ntangan di bawah. Dengan kata lain memberi lebih baik daripada\r\nmeminta. Dalam konteks ekonomi, hadis ini menyiratkan\r\nbahwa untuk dapat memberikan sesuatu, maka ia harus mempunyai\r\nkemampuan dan memiliki sesuatu itu, yang akan\r\ndiberikan pada orang lain, baik berupa kekayaan maupun yang\r\nlainnya. Dengan demikian,kekayaan sesungguhnya dapat\r\ndipandang sebagai sesuatu yang lebih baik daripada kemiskinan.\r\nPada dasarnya, etika berkaitan dengan perbuatan sadar\r\nmanusia. Sehingga, pandangan etika itu tidak dapat menggeser\r\nkeabsahan pernyataan bahwa kekayaan lebih baik daripada\r\nkemiskinan, karena etika selamanya hanya berkaitan dengan\r\nperbuatan manusia yang dilakukan dengan sadar.\r\nTerima kasih kami sampaikan kepada seluruh Tim-\r\nKreatif yang telah tulus ikhlas menyukseskan acara mensyukuri\r\nkelahiran Prof. Dr. H. Musa Asy‘arie yang ke-60 tahun,\r\nPadepokan Musa Asy‘arie, para penulis, para guru, dan kolega\r\nserta seluruh relasi yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.\r\nHanya satu kata terucap tulus Jazakallah khairan katsira. Semoga\r\nAllah Swt membalas kebaikan kita semua. Amien.\r\nxv\r\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan\r\nKado 60 Tahun Musa Asy’arie\r\nSemoga kehidupan bang Musa Asy‘arie dan keluarga\r\nsenantiasa diberkati Allah swt. Perjalanannya senantiasa diiringi\r\ngemuruh orkestra takbir dan tahmid di alam ‘Arsy. Barakallu\r\nlakum.\r\nPotorono, 14 Desember 2011\r\nAndy Dermawan"^^ . "2011-12-14" . . . "9789795670384" . . "Lembaga Studi Filsafat Islam (Lesfi)"^^ . . "Lembaga Studi Filsafat Islam (Lesfi)"^^ . . . . . . . . "-"^^ . "ANDY DERMAWAN"^^ . "- ANDY DERMAWAN"^^ . . . . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Text)"^^ . . . "DINAMIKA KEBUDAYAAN_Andi Dermawan#ed..pdf"^^ . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Other)"^^ . . . . . . "lightbox.jpg"^^ . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Other)"^^ . . . . . . "preview.jpg"^^ . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Other)"^^ . . . . . . "medium.jpg"^^ . . . "Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Other)"^^ . . . . . . "small.jpg"^^ . . "HTML Summary of #39484 \n\nDinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan : Kado 60 Tahun Musa Asy’arie\n\n" . "text/html" . . . "Budaya dan Agama" . . . "Islam dan Budaya" . .