@techreport{digilib40303, type = {Project Report}, title = {Laporan Penelitian KEDUDUKAN LAKI-LAKI SEBAGAI GUBERNUR DIY DALAM PERSPEKTIF AKTIVIS PEREMPUAN}, author = {- Siti Jahroh}, publisher = {FAKULTAS SYARI?AH DAN HUKUM UIN SUKA YOGYAKARTA}, year = {2020}, institution = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, keywords = {Laki-laki, Gubernur, Aktivis Perempuan}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40303/}, abstract = {Salah satu klausul dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta mensyaratkan bahwa raja dan gubernur Yogyakarta harus laki-laki. Klausul inilah yang menghalangi Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengangkat putrinya sebagai penerus tahtanya melalui Sabda Raja. Klausul tersebut dinilai dan dianggap sebagai bias gender. Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK DIY menyatakan bahwa: ?Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak?. Frasa ?istri? pada pasal itu dinilai diskriminatif. Sebab pasal itu menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Yogyakarta. Selain itu, Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang baru disahkan, juga menegaskan makna yang sama. Perdais ini sempat diperdebatkan khususnya pada Bab II tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tertuang pada pasal 3 ayat 1 huruf m. Pasal itu berbunyi: ?Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah WNI yang harus memenuhi syarat: (m) menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain; riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak?. Pasal ini sempat akan diubah karena kata "istri" di dalamnya mengisyaratkan Gubernur DIY harus laki-laki beristri. Tetapi dalam kasus UUK Yogyakarta yang mensyaratkan laki-laki sebagai gubernur tersebut, apakah benar-benar bagian dari persoalan gender? Di dalam UUK mengenai pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur memang diharuskan laki-laki, tetapi apakah syarat laki-laki yang secara implisit ada di dalam undang-undang ini merupakan persoalan gender? Hal ini perlu ditelusuri lebih dalam. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan dua masalah, yakni: Pertama, bagaimana pandangan aktivis perempuan tentang syarat calon gubernur DIY harus laki-laki; dan kedua, apakah syarat calon Gubernur DIY bertentangan dengan prinsip keadilan gender. Temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa: (1) aspirasi gerakan perempuan di Yogyakarta mengenai syarat calon Gubernur DIY harus laki-laki, diespon dengan berbagai macam pendapat dan opini. Terjadi pro dan kontra. Ada beberapa oganisasi perempuan yang mendukung tegas bahwa Gubernur DIY boleh diduduki oleh perempuan dengan alasan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. Adapun alasan lainnya adalah di era demokrasi Kraton harus lebih mengikuti modernitas dan aspirasi demokrasi. Sementara organisasi perempuan yang menolak Gubernur DIY boleh diduduki perempuan memiliki alasan yang sama kuat. Alasan tersebut yang paling kuat adalah soal paugeran dan Kraton harus tetap tunduk pada ajaran Islam, bahwa pemimpin atau imam harus laki-laki. Alasan lain yang tidak kalah menarik adalah, Kraton sebenarnya tidak memperjuangkan keadilan gender, tetapi semata-mata oligarkhi kekuasaan; dan (2) Syarat calon Gubernur DIY yang diharuskan untuk dijabat oleh seorang laki-laki, sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip keadilan gender. Karena pemimpin laki-laki pun sebenarnya punya aspirasi untuk memperjuangkan nasib dan hak-hak perempuan. Sebaliknya pemimpin perempuan belum tentu sadar memperjuangkan hak-hak perempuan. Alasan lainnya adalah syarat calon gubernur DIY bersifat lex secialis} }