TY - THES N1 - 1. Alim Roswantoro, S.Ag., M.Ag 2. Muh. Fatkhan, S.Ag., M.Hum. ID - digilib41259 UR - https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41259/ A1 - Hendra Cipta, NIM. 0151048699 Y1 - 2007/03/29/ N2 - Peradaban abad 21 ini akhirnya bergerak bersama-sama atau kalau tidak bisa disebut seperti dikatakan Marcuse "one dimensional man", masyarakat satudimensi; satu arah, satu tujuan (seragam). Di bawah institusi-institusi yang dulu sepenuhnya menyentuh kita. Yang tak beraturan, yang tak terencana, asal-asalan, ganjil dan lepas-lepas, kalau tidak terdesak dan hampir punah. Dengan itu pula kita menikmati dan mengagungkan "kemajuan". Sebuah suasana keruhan pasar "modern" yang ambigu. Tetapi pada dasamya pasar mendorong sistematisasinya dan ketertibannya sendiri. Dan kita bersama-sama terjebak dalam lorong gelap itu. Semua diukur, diklaim, dengan standarisas? absolut yang dibentuk entah oleh siapa dan bagaimana. Kapitalisme (nalar untung rugi pasar yang sangat rasional itu, walaupun sebenarnya irrasional yang lain alnya kita tidak sungguh-sungguh tahu dan menahu, tetapi secara bersama-sama berfikir begitu dan begitu, 'asumsi' tak bertuan dari nalar rasional yang arogan.Perkembangan selanjutnya post-modern datang dengan agenda menggugat cara bernalar yang seperti itu dengan meletakkan inti persoalan sebenarnya pada bahasa Sebab dengannya manusia berhubungan dengan dan juga mengungkapkan ataupun bahkan menginstitusikan hal ihwal yang ada di luar dirinya la seharusnya tidak argumentatif. logis dan keras, akan tetapi menyenangkan metaforik, dan bebas Muncul Heidegger, Derrida, Nietzsche Wittgenstein, Rorty, Husserl (di) dengan membuka pintu labanan ke arah nalar yang tidak mengandaikan jawaban atas segala sesuatu, kecuali penghadiran dan realitas itu nalar puitik sebuah bahasa yang skematis, suatu bahasa yang memperoleh prestisenya dari kemampuannya untuk membawa, kedalam bahasa, aspek-aspek tertentu dan pengalaman kemanusiaan kita Lantas bagaimana Indonesia Afrizal Malna. Lantas bagaimana Indonesia?Afrizal Malna muncul dengan menggugat hal itu. Dengan cara melakukan model pengucapan baru dalam sebuah keluarga bahasa yang sudah kadung meng institusi tersebut. Yang cenderung menjebak kita ke dalam kelompok-kelompok, klan, bahkan sekte sekte, lebuh jauh sebagai legitimasi Padahal semesta di luar begitu luas, beragam dan plural Ada ratusan bahasa dengan budaya dan manusia rang bermacam-ragam. Sebuah bahasa gambar yang bebas dan mistis dengan aroma mitos urban dan pluralisme yang santer, Dengan kesadaran akan situasi kecemasan identitas inlah. Afrizal banyak menuliskan karyanya (baik berupa esai, cerpen, puisi, naskah teater). Ketakutan ketakutan di tengah hiruk-pikuknya kota, dengan kebisingan yang merajalela. Wacana lalu-lalang tanpa dapat dicegah, teknologi datang dengan congkak, gaya hidup (life style) berhembus tanpa dapat ditolak. Hampir dari gang, membuatnya memilih antara menafikan identitas seperti terlihat dalam setiap sudut dan setiap tokoh-tokoh dalam karyanya) atau meneguhkan identitas (seperti dalam banyak sastrawan pendukung rezim keluarga). Sebab ia yakin identitas cenderung melekat pada mainstrem yang menggerakkan pikiran masyarakat atau seseorang Dan ketika internalisasi terhadap identitas itu macet, kehilangan aktualisasinya. identitas itu mulai membusuk dan menjadi gangguan untuk tenadinya perubahan Kadang-kadang menjadi dangkal dan artifisial, dan turistik sedangkan identitas yang in kenal dalam kerja kepenyairannya adalah kebutuhan mengenali berbagai gejala budaya yang berpengaruh dalam lingkungan semiotik di sekitarnya. Yaitu pengaruhnya terhadap mitos, ideologi maupun perilaku Katanya: puist tidak menciptakan bahasa baru dalam bahasa, melainkan mamainkan medan bahasa yang hidup dalam berbagai gejala komunikasi di sekitar kita dalam rangka sebuah permainan lain di medan poitik pemaknaan PB - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta KW - Biografi Yanti; Nalar puitik M1 - skripsi TI - NALAR PUITIK DALAM "BIOGRAFI YANTI SETELAH 12 MENIT" KARYA AFRIZAL MALNA AV - restricted EP - 111 ER -