%0 Thesis %9 Skripsi %A IMAS MAESAROH, NIM, 00360537 %B FAKULTAS SYARl'AH DAN HUKUM %D 2006 %F digilib:41587 %I UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KAI..IJAGA YOGYAKARTA %K Persetujuan Mempelai Wanita Dalam Akad Nikah %P 124 %T PERSETUJUAN MEMPELAI WANITA DALAM AKAD NIKAH (STUDI PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SY AFl'I) %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/41587/ %X ABSTRAK Penetapan hams adanya wali dalam akad nikah, merupakan sebuah syarat untuk sahnya sebuah perkawinan. Namun permasalahan yang muncul, bagaimanakah status akad tersebut, apabila mempelai wanita tidak menyetu­juinya, berhubungan dengan adanya maqii_sidus syarl'ah, yakni, ingin tercapainya sebuah kemaslahatan dan terpeliharanya jiwa, menjadikan mempelai wanita memiliki hak penuh, dalam menentukan pasangannya. khususnya mengenai peran wali yang disalah artikan menjadi sebuah intimidasi, terhadap mempelai wanita atau anak putrinya yang sudah dewasa. Di sini ada dua tokoh yang akan dijadikan kajian. Adanya perbedaan pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i tentang persetujuan mempela:i wanita yang berakal, sehat, merdeka, dan persetujuan seorang janda dalam memilih pasangan hidupnya, dengan melihat kondisi Indonesia sekarang. Sehingga penyusun tertarik untuk membahasnya demi mengetahui pandangan mana yang masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini. dengan menjabarkan istinbat hukum masing-ma.sing terhadap masalah yang akan dibahas, dengan melalui pendekatan normatif sosiologis. Adanya Hadis yang berbunyi "janda lebih berhak atas dirinya sendiri dan gadis harus diminta izinnya" Imam Abu Hanifall berpendapat bahwa hak gadis sama dengan janda, karena akad pemikahan sama dengan akad-akad yang lainnya, dan baik gadis atau janda perlu diminta izinnya, dan keduanya bisa menikahkan dirinya sendiri, yang menjadi illat hukumnya adalah usia bukan kegadisannya. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi'i, tidak sah menikah tanpa adanya wali, izin seorang gadis hanya sebagai pilihan, tidak bisa memaksakan kehendaknya sendiri. Adapun ii/at hukamnya adalah kegadisannya, dan belum berpengalaman dalam berumah tangga, Olen karena itu hanya janda yang bisa menikahkan dirinya sendiri, karena adanya mafhiim mukhiilafah terhadap Hadis terse but. Pada dasarnya antara janda dan gadis yang dewasa juga berakal sehat, bisa menilai mana yang Iebih baik untuk kehidupanny, terutama wanita sekarang yang banyak berkecimpung di dunia publik Oleh karena "itu antara hak wali dan mempelai wanita ada hak yang berimbang, namun mempelai wanitalah yang lebih menentukan kebaikan hidupnya, baik wali ataupun mempelai wanita tidak ada yang dapat menjamin kebaikan secara pasti. Dengan memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya harus sekufu antara calon mempelai, dan tidak keluar dari prinsip-prinsip agama, yakni ingin membentuk keluarga sakinah, maka musyawarah antara kedua belah pihak (wali dan mempelai) sangat diperlukan, karena bagaimanapun juga pernikahan menyangkut banyak pihak dan kerabat. Maka dengan kondisi di Indonesia sekarang, pendapat Imam Abu Hanifahlah yang lebih relevan. %Z Hj. Fatma Amalia, S.Ag. M. Si