@mastersthesis{digilib45524, month = {March}, title = {POLITIK KUASA KANONISASI QIR{\=A}?{\=A}T SAB?AH IBNU MUJ{\=A}HID DALAM KITAB AL-SAB?AH}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM. 19200013004 Afrida Arinal Muna}, year = {2021}, note = {Dr. Munirul Ikhwan, Lc., M.A}, keywords = {Qir{\=a}?{\=a}t Sab?ah, Kanonisasi, Politik Kuasa, Ibnu Mujahid}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/45524/}, abstract = {Qir{\=a}?{\=a}t menjadi perdebatan yang tidak bisa dilepaskan dari kajian al- Qur?an, termasuk proses kanonisasi qir{\=a}?{\=a}t sab?ah yang dilakukan oleh Ibnu Mujahid. Penulis tertarik untuk melihat kembali sejarah penyeragaman qir{\=a}?{\=a}t serta politik kuasa dalam kanonisasi qir{\=a}?{\=a}t sab?ah. Saya berpendapat bahwa tidak hanya faktor ingin menyatukan umat Islam dalam hal perbedaan lahjah dalam proses transmisi bacaan al-Qur?an, tetapi juga ada faktor politik dalam kanonisasi ragam bacaan al-Qur?an serta seleksi imam-imam qurr{\=a} yang masuk dalam tujuh qurr{\=a} tersebut. Penulis menganalisis dengan menggunakan kerangka berpikir dari Foucault mengenai relasi kuasa untuk melihat rezim pengetahuan (episteme) apa yang berkuasa pada masa kanonisasi qir{\=a}?{\=a}t ini dilakukan (archeology of knowledge) serta menggunakan ilmu jarh wa al-ta?d{\=i}l untuk melihat ketersambungan sanad para qurr{\=a} sampai Nabi serta kualitas para qurr{\=a}? sebagaimana yang disyaratkan oleh Ibnu Mujahid dalam pemilihan para qurr{\=a}? untuk dimasukkan ke dalam qir{\=a}?{\=a}t sab?ah. Selanjutnya, penelitian ini merumuskan beberapa pertanyaan, yaitu mengapa Ibnu Muj{\=a}hid melakukan standarisasi qir{\=a}?{\=a}t dalam kitabnya as-Sab?ah; apa parameter Ibnu Muj{\=a}hid dalam menilai qir{\=a}?{\=a}t yang {\c s}a{\d h}{\=i}{\d h}; serta apa konteks politik yang melatari kanonisasi qir{\=a}?{\=a}t oleh Ibnu Muj{\=a}hid. Dari hasil penelitian, standarisasi terhadap qir{\=a}?{\=a}t tersebut dilakukan karena latar belakang Ibnu Muj{\=a}hid sebagai q{\=a}ri? dan q{\=a}{\d d}{\=i} pada masanya, sehingga ia mempunyai otoritas dan kredibilitas untuk melakukan standarisasi terhadap qir{\=a}?{\=a}t. Di antara parameter yang dijadikan pijakan adalah sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan mushaf ?U{\'s}m{\=a}ni dan sanadnya bersambung sampai Nabi. Selain tiga parameter tersebut, saya menemukan bahwa Ibnu Muj{\=a}hid lebih memilih bacaan dari q{\=a}ri? yang lebih masyhur daripada tingginya {\d t}abaq{\=a}t seorang q{\=a}ri?. Upaya standarisasi yang dilakukan oleh Ibnu Muj{\=a}hid ini kemudian menjadi kanonik karena terdapat upaya sistematis oleh kekuasaan yang menopang kanonisasi tersebut. Upaya standarisasi yang dilakukan oleh Ibnu Muj{\=a}hid ini kemudian menjadi kanonik karena terdapat upaya sistematis oleh kekuasaan yang menopang kanonisasi tersebut. Pergulatan politik antar penguasa pada saat itu terjadi antara kelompok Hanabilah dan Syafi?iyah. Dikarenakan banyaknya pergolakan mengenai ragam bacaan al-Qur?an, al-R{\=a}{\d d}{\=i} memerintahkan Ibnu Muqlah sebagai wazir untuk melakukan kanonisasi qir{\=a}?{\=a}t yang telah distandarisasi oleh Ibnu Muj{\=a}hid yang mewakili kelompok Syafi?iyah. Oleh karena itu, terkanonisasinya qir{\=a}?{\=a}t ini menjadi sebuah kemenangan kelompok Syafi?iyah atas Hanabilah.} }