@article{digilib497, month = {July}, title = {MENCARI KEBENARAN DAN PERSPEKTIFNYA (SUATU PEMIKIRAN FILSAFAT)}, author = { MUSTAFA SOEHADJI}, publisher = {Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta}, year = {2008}, journal = {/Jurnal/Al-Jamiah/Al-Jamiah No. 33 Th. 1985/}, keywords = {Kebenaran, Perspektifnya, Pemikiran, Filsafat}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/497/}, abstract = {Manusia di dunia dengan karunia akal i(ratio)/i yang diterimanya membedakan dirinya dari makhluk yang lain. Akal menjadikan manusia memiliki derajat dan kedudukan yang lebih tinggi daripada makhluk yang lain, karena dengan akalnya manusia dapat berpikir mengenai apapun. Manusia sebagai Homo Sapiens, berpikirdan ingin mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Manusia berusaha menalari dan menguak tabir-tabir rahasia di balik kenyataan yang dilihatnya. Segala apa, saja termasuk alam semesta dijadikan obyek pemikiran. Apakah hakekat alam semesta? Dari mana dan begaimana terjadinya? Ada dengan sendirinya ataukah ada yang menjadikan, atau menjadi sebab? Kalau ada, siapa dan bagimana, dan seterusnya dan seterusnya. Manusia dengan akal berpikir dan berfilsafat, terus menerus tiada puasnya, mencari hakekat segala sesuatu, mencari kebenaran dan mencari realita. Dari pemikiran dan penyelidikan inilah kemudian timbul berbagai macam teori, doktrin dan dogma yang tidak saja berbeda, tapi terkadang saling bertentangan sesuai pola dasar pemikiran para pemikir dan filosof masing-masing. Di satu pihak berangkat dari manusia sebagai subyek, di lain pihak mulai dari benda sebagai obyek yang diamati, sedang yang lainnya berbeda pula dasar pemikirannya. Berlainan tampak tegak, berlainan pula yang tampak. Akan tetapi dengan berjalannya masa, tidak akan tercapai kepuasan, akan tetapi timbul keraguan terhadap kemampuan akal itu sendiri. Tetapi manusia tidak saja berpikir dan mengindera dalam persentuhan dan penghayatan terhadap semesta, diapun merasakannya dengan berbagai aplikasi dan implikasinya. Sampailah akhirnya pada batas merasakan ketidakmampuan dan keterbatasan, serta membutuhkan. Yang lain, tentu saja yang dapat mengatasi ketidakmampuannya dan keterbatasannya yang secara intuitif diakui kebenarannya. Karena dengan segala kemampuan dirinya, dengan segala apa yang ada pada dirinya yang dianggap sebagai sumber pengetahuan, indera, rasa dan akal belum dapat memberikan apa yang dicari, maka dibutuhkanlah sumber yang lain yaitu wahyu. b} }