%A NIM.: 17105050054 Mohamad Zian Nooramadhan %O Pembimbing: Drs. Indal Abror, M.Ag. %T KITAB QAMI’ AL-TUGHYAN KARYA SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI %X Kajian studi hadis di Indonesia masih memiliki banyak hal untuk dieksplorasi lebih jauh, sampai abad ke-20, studi hadis di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang memadai. Diawal abad ke-19 lahirlah syaikh Nawawi al-Bantani (1814-1897 M.). ia merupakan seorang yang produktif (yang menulis banyak karya) yang menguasai banyak bidang keilmuan tradisional islam pada zamannya, seperti teologi, fikih, hadis, tata bahasa arab, tasawuf, retrorika, dan tafsir. Salah satu kitabnya yang popular dan banyak dikaji di pondok pesantren adalah kitab Qāmi’ al-Tughyān. Ia merupakan kitab kecil yang berisi tentang cabang-cabang keimanan. Dalam beberapa hal, ia juga bisa dikatakan sebagai sebuah kitab hadis, mengingat banyaknya hadis yang dijadikan landasan oleh Syaikh Nawawi dalam komentarnya. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (libary reasearch) dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Pendekatan yang dipakai adalah historis, dalam penelitian ini sumber primer yang digunakan adalah kitab Qāmi’ al-Tughyān . Penelitian berupaya untuk menelusuri karakteristik kitab tersebut dan melakukan kajian elementer terkait hadis-hadis didalamnya berikut pemahaman syaikh Nawawi terkait hadis-hadis yang tertuang didalamnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kitab Qāmi’ al-Tughyān , terdapat 106 hadis yang dijadikan sebagai materi oleh syekh Nawawi dalam menjelaskan beberapa cabang keimanan yang 77 cabang iman. Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat 20 buah hadis yang tidak memiliki sumber asalnya( la asla laha). Selain itu, terdapat empat metode pengutipan hadis yang diterapkan syekh Nawawi: Pertama, hanya mengutip matan hadis tanpa menyebutkan mata rantai sanad. Kedua, mengutip matan dan periwayat pertamanya saja. Ketiga, mengutip matan hadis dan periwayat terakhir (Mukharrij). Keempat, mengutip matan hadis serta hadis periwayat pertama dan terakhir secara bersamaan. Seluruh hadis tersebut cenderung diposisikan oleh syaikh Nawawi sebagai sebuah “Motto” untuk setiap cabang keimanan yang dijelaskan. Hal semacam ini bisa dikatakan merupakan kecenderungan kaum fuqaha yang lebih berkepentingan kepada daya pakai matan hadis sebagai hujjah syar’iyyah, berbeda dengan kecenderungan muhaddisin yang menekankan kepada verifikasi histriografis. Ketika menjelaskan cabang keimanan yang tidak termasuk kedalam aspek i’tiqady, seperti masalah etika dan fada’il amal, beberapa hadis yang berstatus Ḍa’if atau la asla laha dalam pandangan para kritikus hadis digunakan olehnya sebagai landasan argumentasi. Berbeda halnya ketika ia menjelaskan cabang keimanan yang bernuansa i’tiqady yang hanya bersandar pada ayat ayat al-Qur’an atau setidaknya hadis yang shahih. %K Hadis dha'if; hadis maudhuk; hadis munkar; hadits %D 2022 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib50848