%A NIM.: 16531012 Ainil Atiqoh %O Pembimbing: Aida Hidayah, S.Th.I, M.Hum %T PENAFSIRAN BISRI MUSTOFA TERHADAP Q.S. AL-ANBIYA’ [21]: 112 DAN Q.S. AL-SYURA [42]: 15 TERKAIT CINTA TANAH AIR (STUDI TERHADAP KITAB TAFSIR AL-IBRIZ LI MA’RIFAH TAFSIR AL-QUR’AN AL-AZIZ ) %X Skripsi ini mendiskusikan penafsiran Bisri Mustofa terhadap Q.S. al- Anbiyā’ [21]: 112 dan Q.S. al-Syūrā [42]: 15 dalam kitab tafsirnya, al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-Azīz. Ayat tersebut penulis pilih sebagai fokus penelitian karena hanya pada dua ayat itulah penafsiran Bisri dikaitkan secara eksplisit dengan konteks di mana Indonesia menghadapi problematika yang berkaitan dengan Kolonial Belanda. Selain dikenal sebagai ulama, Bisri juga merupakan seorang mufassir sekaligus politikus handal yang memiliki pemikiran moderat dan kontekstual. Di samping itu, ia juga hidup pada saat Indonesia mengalami hiruk pikuk kolonialisme. Oleh karena itu penulis berasusmsi bahwa dalam penafsirannya sedikit banyak terpengaruh oleh dunia politik serta konteks Indonesia saat itu. Dari kegelisahan tersebut dapat ditarik tiga rumusan masalah yang menjadi fokus kajian skripsi ini. Pertama, bagaimana penafsiran Bisri Mustofa terhadap Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 112 dan Q.S. al-Syūrā [42]: 15. Kedua, bagaimana relevansi penafsiran kedua ayat tersebut dengan konteks Indonesia saat itu. Ketiga, faktor apa saja yang mempengaruhi penafsiran Bisri terhadap kedua ayat tersebut. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut penulis menggunakan metode deskriptif. Metode tersebut digunakan untuk mendeskripsikan konsep cinta tanah air, biografi Bisri Mustofa, kitab tafsir al-Ibrīz, penafsiran Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 112 dan Q.S. al-Syūrā [42]: 15, serta kondisi masyarakat Indonesia saat itu. Selanjutnya, pendekatan historis penulis gunakan untuk menemukan relevansi penafsiran dengan kondisi bangsa Indonesia saat itu. Kemudian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penafsiran Bisri terhadap kedua ayat tersebut penulis menggunakan teori Effective History Hans Georg Gadamer. Dengan menggunakan metode tersebut diperoleh tiga kesimpulan. Pertama, penafsiran Bisri terhadap dua ayat tersebut agak berbeda dengan penafsiran mufassir lainnya, karena dikaitkan langsung dengan konteks Indonesia saat menghadapi problematika yang berhubungan dengan kolonial Belanda. Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 112 dikaitkan dengan problem politik dan ekonomi, sementara Q.S. al-Syūrā [42]: 15 dikaitkan dengan problem konstitusi negara. Dengan mencantumkan problematika bangsanya secara eksplisit, secara tidak langsung Bisri telah menunjukkan rasa cintanya terhadap tanah air dengan bersikap peduli serta mencoba memberi solusi. Kedua, penafsiran Bisri terhadap dua ayat tersebut sangat relevan dengan konteks Indonesia saat itu, karena terkesan mendorong semangat juang, toleransi, serta berpikir kreatif kepada bangsa Indonesia yang tengah semangat-semangatnya membangun negeri yang baru saja merdeka. Ketiga, faktor yang mempengaruhi penafsiran Bisri terhadap dua ayat tersebut meliputi faktor keilmuan dan pengalaman politik. Faktor keilmuan meliputi ilmu uṣūl fiqh dan ilmu kalam. Sementara pengalaman politik berupa peran beliau sebagai orator serta perumus Undang-Undang saat bergabung dengan berbagai partai politik. Meskipun demikian, Bisri menyadari keterpengaruhannya oleh faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, ia membuat kategorisasi penafsiran dengan istilah Muhimmah. Di samping itu, ia juga berusaha meminimalisir kesubjektifannya dengan ungkapan Wallāhu a’lam di akhir penafsiran Q.S. al-Syūrā [42]: 15 serta ungkapan In Syā’ Allāh dan Āmīn pada penafsiran Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 112. %K Penafsiran, Bisri Mustofa, Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 112 dan Q.S. al-Syūrā [42]: 15, al-Ibrīz, Cinta Tanah Air %D 2020 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib51406