@incollection{digilib57667, booktitle = {Refleksi Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya}, title = {Konstruksi Kebudayaan dalam Tafsir al-Qur'an}, author = {- Imam Muhsin}, address = {Yogyakarta}, publisher = {Idea Press}, year = {2022}, pages = {253--264}, keywords = {Kebudayaan, Tafsir Al qur'an}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57667/}, abstract = {Dalam tulisan ini dapat dipahami bahwa tafsir al-Qur?an merupakan salah satu proses kebudayaan yang penting dalam konstruksi kebudayaan (baca: pengetahuan), baik langsung maupun tidak langsung. Melalui upaya-upaya penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu, pesan-pesan wahyu Tuhan yang termuat dalam al-Qur?an dapat ditransformasikan kepada masyarakat dari generasi ke generasi pada tataran praksis, baik yang bersifat idiologis-normatif maupun operasional-aplikatif. Di sisi lain, proses penciptaan kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan atau keyakinan masyarakat terhadap agama (baca: kitab suci). Ajaran agama yang dipahami masyarakat membentuk pola pikir yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk tradisi yang disepakati bersama. Pemahaman bahwa tafsir merupakan sebuah proses kebudayaan, berarti menempatkan tafsir al-Qur?an sebagai sesuatu yang khas insani. Pemahaman ini sekaligus mempertegas keberadaan tafsir al-Qur?an sebagai karya manusia yang nisbi dan profan. Hal ini tidak lain karena tafsir al-Qur?an merupakan hasil kerja akal; potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Oleh karena itu, jika segala sesuatu yang dihasilkan atau yang diperbuat oleh manusia disebut sebagai kebudayaan, maka tafsir al-Qur?an sebagai hasil karya manusia pada dasarnya merupakan fenomena kebudayaan. Sebagai fenomena kebudayaan, konstruksi kebudayaan dalam tafsir al-Qur?an dapat dijelaskan berdasarkan perkembangan kebudayaan umat manusia. Berdasarkan analisis terhadap pendekatan atau sumber penafsiran yang digunakan, konstruksi kebudayaan dalam tafsir al-Qur?an dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu mitis, ontologis, dan fungsionil. Namun ketiga konstruksi kebudayaan itu tidak muncul sebagai tahapan yang bersifat linier, melainkan juga bisa bersifat sirkular.} }