@article{digilib57700, title = {PERJALANAN SPRITUAL SYEKH MARDAN DALAM TEKS PAU-PAUNNA S{\'E}HU MARADANG VERSI BAHASA MAKASSAR: DARI SEKS BEBAS KE INSAN KAMIL}, author = {- Mustari}, publisher = {Universitas Nusa Cendana}, year = {2022}, pages = {1--29}, journal = {INTERNATIONAL CONFERENCE ON LITERARY LITERACY AND LOCAL WISDOM ORGANIZED BY HISKI}, keywords = {Syekh Mardan, Seks Bebas, Insan Kamil.}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57700/}, abstract = {Adalah mengejutkan membaca perjalanan spiritual seorang tokoh menuju posisi insan kamil, justru dimulai dengan seks bebas. Hal itulah yang terbaca pada Lontaraq Sehe? Maradang (Kisah Syekh Mardan), sebuah karya sastra klasik berbahasa Makassar yang dapat digolongkan sebagai sastra kitab atau sastra Islam. Naskah ini memuat cerita pengembaraan spiritual seorang hero laki-laki Bernama Syekh Mardan atau Indra Jaya yang selalu diwarnai dengan percumbuan dengan perempuan. Ditulis dengan gaya prosa berbahasa tutur dari seorang narator. Kisah ini penting didiskusikan karena ia digunakan sebagai pengajaran moral namum memuat perilaku menyimpang. Penelitian ini akan menjawab pertanyaan, mengapa ada narasi seks bebas dalam teks Sehe? Maradang? Penelitian ini bertumpu pada data buku Kisah Syekh Mardan hasil transliterasi dan terjemahan oleh Aburaerah Aief, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah 1981. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan catat, lalu dipilih dan dipilah data yang relevan, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan. Kajian ini termasuk jenis penelitian kualitatif-naratif dengan pendekatan ilmu keislaman. Hasil yang ditemukan adalah, ketika karya ini didudukkan pada hakekatnya sebagai karya sastra, maka pemaknaan hubungan seks bebas yang mewarnai perjalanan spiritual tokohnya, itu harus ditafsirkan dengan makna tersirat sebagai keawaman ilmu agama yang secara bertahap menuju kesempurnaan. Empat perempuan yang digauli oleh Syekh Mardan dimulai dengan tanpa nikah pada dua perempuan pertama, lalu secara bertahap menikahi secara fiqh pada perempuan yang ketiga, dan menikah batin plus nikah fiqh pada perempuan yang keempat. Seks yang memilik fungsi rekreatif harus dimaknai sebagai kenikmatan dunia yang harus dikendalikan dan dikembalikan kesuciannya sebagai sarana untuk berketurunan} }