@mastersthesis{digilib59967, month = {December}, title = {IMPLEMENTASI FATWA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH NO. 09 TAHUN 2013 TERHADAP PROBLEMATIKA ZAKAT TAMBANG DI PROVINSI ACEH}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM.: 18203010131 Ariful Mufti, S.H}, year = {2022}, note = {Pembimbing; Dr. Abdul Mughits, M.Ag.}, keywords = {Zakat of Mining; Haul For Zakat of Mining; Nisab For Zakat of Mining}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59967/}, abstract = {Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal menjelaskan, bahwasanya produk tambang (perak dan emas) yang penghasilannya menyentuh nisab senilai 94gr emas, maka wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5\% pada tiap produksi ataupun penemuannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam Sy{\=a}fi?{\=i} yang mengemukakan bahwa tidak adanya haul dalam zakat tambang (perak dan emas). Sedangkan pada Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 Tentang Baitul Mal pada Bab X, dijelaskan bahwa: Zakat wajib dikeluarkan setiap tahun atas keuntungan sebesar 2,5\% (dua setengah persen) dari usaha pertambangan dengan modal paling sedikit 94 (sembilan puluh empat) gram emas murni. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan syariah yang berlaku. maka dengan itu, dalam penulisan karya ilmiyah ini penulis mengangkat beberapa rumusan masalah yang akan dikaji, diantaranya bagaimana ketetapan nisab dan haul dalam zakat tambang menurut pendapat imam mazhab? serta bagaimana problematika implementasi zakat tambang di Aceh. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya, hasil tambang yang diolah dengan api merupakan hal yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, sedangkan untuk hasil tambang yang cair atau padat dan tidak diolah menggunakan api, maka tidak perlu dikeluarkan zakatnya. Imam Asy-Syafi berpandangan bahwa, hanya produk tambang perak dan emas saja yang dapat dikenakan kewajiban zakat, sementara itu untuk hasil pertambangan lainnya, seperti batu bara, tembaga, besi, kristal, dan batuan, dikecualikan dari persyaratan ini. Sedangkan Imam Hambali berpandangan bahwasanya tidak terdapat perbedaan antara produk tambang yang diolah dengan api maupun tidak, akan tetapi zakat harus tetap dikeluarkan. Belaiau berpendapat bahwasanya semua jenis produk tambang yang dikeluarkan dari dalam tanah merupahan harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Sejauh ini, praktik zakat yang dilaksanakan oleh para pemilik tambang adalah dengan menunaikan zakat kepada Baitul Mal Gampong (dalam hal ini diwakilkan oleh kepala desa setempat) ketika tercapainya nisab dan haul (satu tahun), yang kemudian akan didistribusikan kepada masyarakat setempat. Praktik pembayaran zakat tersebut sudah menjadi hukum adat yang telah dilakukan dari generasi ke generasi. Masyarakat menganggap praktik tersebut telah sesuai dengan syariat Islam yang telah ditetapkan. Praktik tersebut tentunya bertentangan dengan pendapat para ulama mngenai zakat tambang yang tidak menetapkan haul didalam zakat tambang, melainkan harus segera dikeluarkan hari itu juga apabila telah tercapainya nisab.} }