@mastersthesis{digilib65550, month = {May}, title = {POLITIK HUKUM PEMEKARAN PROVINSI PAPUA PASAL 76 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYYAH}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM.: 22203011117 Muhammad Yahya. S.}, year = {2024}, note = {Pembimbing: Dr. Hj. Siti Fatimah, S.H. M. Hum.}, keywords = {Pemekaran Provinsi Papua; Politik Hukum; Siyasah Dusturiyyah}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/65550/}, abstract = {Provinsi Papua telah beberapa kali masuk dalam pusaran praktek pemekaran, sejak adanya UU No. 21 Tahun 2001 dalam Pasal 76 UU a quo yang mengatur pemekaran provinsi di Papua adalah wewenang pemerintah daerah atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (MRP). Namun UU No.2 Tahun 2001 dilakukan perubahan dengan penambahan norma dan ketentuan baru yaitu; pertama menghilangkan persetujuan MRP dan DPRP sebagai representasi masyarakat dalam pemekaran provinsi di Papua dengan adanya kewenangan Pemerintah Pusat dan DPR ( Pasal 76 ayat (2)) dan kedua, Ketentuan Pasal 76 ayat (3) yang menghilangkan tahapan daerah persiapan dalam pemekaran provinsi di Papua. Hal inilah yang menjadi penting dan perlu perhatian publik untuk dilakukan penelitian dengan melihat perspektif siya{\ensuremath{>}}sah dustu{\ensuremath{>}}riyyah. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, penelitian library research dengan menggunakan dua pendekatan: pendekatan yuridis-normatif dan pendekatan historis. Dalam menganalisis penelitian ini menggunakan yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan normatif berdasarkan kaidah-kaidah hukum siya{\ensuremath{>}}sah dustu{\ensuremath{>}}riyyah, sebagai sumber primer, selain UU dan peraturan perundangan lainnya terkait dengan penelitian. Setelah itu dilakukan analisis dan kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, politik hukum (legal policy) pemerintah dalam kebijakan hukum pemekaran provinsi di Papua dalam UU No. 2 Tahun 2021 mencerminkan konfigurasi politik yang otoriter dengan produk hukum konservatif dan sentralistik karena tidak mencerminkan partisipatif yaitu menghilangkan peran persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi masyarakat Papua (Pasal 76 Ayat (2) dan mengilangkan tahapan persiapan dalam pemekaran daerah (Pasal 76 Ayat (3). Kedua, pemekaran provinsi di Papua berdasarkan Pasal 76 UU a quo bertentangan dengan siya{\ensuremath{>}}sah dustu{\ensuremath{>}}riyyah karena lebih banyak kemudharatan daripada manfaat jika dilakukan tanpa perbaikan kebijakan dan perbaikan proses pemekaran.} }