%0 Thesis %9 Skripsi %A Abdul Basith, NIM.: 00110202 %B FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA %D 2004 %F digilib:67364 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Saja'; Al Qur'an; Perbandingan Baqillani dan Jahid %P 90 %T AL SAJA' FI AL QUR'AN 'INDA AL BAQALANI WA AL JAHIZ : Dirasah Tahliliyyah Muqaranah %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/67364/ %X Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perdebatan mengenai keberadaan saj' di dalam Al-Qur'an menurut pandangan Al-Baqillani dan Al-Jahiz. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (Library Research). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu berusaha memaparkan data-data tentang suatu hal atau masalah dengan analisis dan interpretasi yang tepat. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (Historical Approach), yaitu memahami konteks kesejarahan tokoh untuk memahami pemikiran-pemikirannya. Al-Qur'an sebagai mukjizat yang paling agung bagi Nabi Muhammad SAW diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang kala itu mencapai puncak keemasan dalam bidang kesusastraan, dalam hal ini adalah puisi (syair). Syair sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga ia disebut sebagai ontologi bangsa Arab (Diwan al-Arab). Meskipun teks Al-Qur'an memiliki kemiripan dengan syair, ia menolak disebut sebagai syair dan Nabi Muhammad sebagai penyair (Asy-Syu'ara': 224-225 & Yasin: 69). Termasuk dalam fenomena kemiripan ini adalah pengulangan kalimat di dalam Al-Qur'an dengan huruf akhir yang sama. Sebagian ulama menamakannya dengan saj', sedangkan yang lain menamakannya dengan istilah fashilah. Upaya mencabut sebutan saj' dalam Al-Qur'an sebenarnya bertujuan membedakan kalam ilahi dengan ujaran manusia. Peletak batu pertama pembedaan ini adalah ulama Asy'ariyah. Pembedaan ini didasarkan pada paradigma mereka mengenai kalam sebagai salah satu sifat Dzat Allah yang qadim, sehingga Al-Qur'an sebagai ekspresi dari sifat qadim tersebut bersifat qadim juga, dan kemiripan apapun dengan ujaran manusia adalah hal yang tidak mungkin. Sedangkan Mu'tazilah yang berpandangan bahwa kalam adalah salah satu tindakan Allah (bukan sebagai sifat-Nya), maka Al-Qur'an sebagai ekspresi dari tindakan ini bersifat baru (hadits), sehingga atribut-atribut yang ada pada ujaran manusia dapat dilekatkan padanya. Al-Baqillani, dengan berangkat dari konsep kalam Allah (Al-Qur'an) sebagai ekspresi dari sifat qadim, maka kesimpulan akhirnya membawanya berpendapat bahwa kemiripan sedikit apapun antara kalam Allah dengan ujaran manusia adalah hal yang tidak mungkin. Dia juga mengasumsikan bahwa saj' hanyalah aksesoris yang dipaksakan melalui dualisme kata dan makna. Ia menegaskan bahwa dalam saj', makna mengikuti kata, sedangkan dalam Al-Qur'an, kata mengikuti makna. Lagi pula, Allah telah menegasikan Al-Qur'an sebagai syair. Oleh karena itu, atribut-atribut dalam syair tidak boleh dilekatkan padanya. Sementara itu, Al-Jahiz memandang bahwa kalam adalah tindakan Allah dan itu bersifat baru (hadits). Maka secara otomatis Al-Qur'an adalah makhluk, oleh karena itu ia sama dengan ujaran manusia. Dengan demikian, atribut-atribut dalam ujaran manusia dapat dilekatkan padanya. Dia juga berpandangan bahwa saj' termasuk salah satu karakteristik bahasa Arab dan sudah wajar apabila ia terdapat di dalam Al-Qur'an, karena Al-Qur'an sendiri turun dengan bahasa Arab. %Z Pembimbing: Dr. H. Sukamta, M.A