%0 Thesis %9 Skripsi %A Agung Priyono, NIM.: 17103060081 %B FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM %D 2024 %F digilib:68363 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Majelis Ulama Indonesia, LBM PWNU Jawa Timur, Karmin, Qiyas %P 113 %T PENGGUNAAN KARMIN SEBAGAI PEWARNA ALAMI UNTUK MAKANAN DAN KOSMETIK (STUDI KOMPARATIF FATWA MUI NOMOR 33 TAHUN 2011 DAN KEPUTUSAN LBM PWNU JAWA TIMUR) %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68363/ %X Industri makanan dan kosmetik banyak yang menggunakan pewarna pada produknya agar terlihat lebih menarik, salah satu pewarna yang sedang banyak di perbincangkan adalah karmin. Karmin merupakan pewarna alami yang berasal dari hewani sejenis serangga yang hidup di tanaman kaktus biasa disebut Cochineal. Terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Nadhatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Timur mengenai penggunaan karmin sebagai bahan pewarna untuk makanan atau kosmetik. Fatwa MUI Nomor 33 tahun 2011 menjelaskan bahwa hukum penggunaan karmin sebagai bahan pewarna adalah halal, selain memberi manfaat Cochineal juga tidak berbahaya. Sedangkan menurut LBM PWNU Jawa Timur berpendapat bahwa hukum penggunaan karmin sebagai bahan pewarna untuk makanan dan kosmestik adalah haram. Penelitian ini dituju untuk mengkaji alasan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan hasil putusan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Nadhatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Timur terkait pewarna karmin, sehingga dapat diketahui sebab terjadinya perbedaan pendapat. Adapun andasan teori yang digunakan sebagai acuan analisis pada penelitian ini adalah teori Qiyās. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berdasarkan sumber pustaka yang relevan dengan penelitian ini, sehingga menjadikan penelitian ini sebagai penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif, analitis dan komperatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Majelis Ulama Indonesia menganggap bahwa serangga cochnieal (bahan dasar karmin) adalah binatang yang memiliki banyak kemiripan dengan belalang yaitu siklus hidupnya tidak melalui tahapan larva dan pupa serta darahnya tidak mengalir, oleh karenanya Majelis Ulama Indonesia meng-Qiyās-kan hukum penggunaan serangga cochnieal dengan belalang yang mana hukum penggunaan belalang adalah halal dengan berdasar hadis Nabi. Adapun Lajnah Bahtsul Masail Nahdatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Timur menyatakan bahwa serangga Cochineal adalah hasyarat (bangkai serangga) yang dinyatakan najis dan menjijikan, oleh karenanya Lajnah Bahtsul Masail Nahdatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Timur meng-Qiyās-kan hukum penggunaan serangga cochnieal dengan hasyarat yang mana hukum penggunaan hasyarat adalah haram dengan berdasar dua firman Allah Swt, yaitu firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 dan surat al-A’raf ayat 157 . %Z Pembimbing: Nurdin Baroroh, SHI, M.Si.