<> "The repository administrator has not yet configured an RDF license."^^ . <> . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA"^^ . "Kepopuleran penafsiran al-Qur’an berbasis tematik nyatanya memiliki kelemahan\r\nutama, yaitu kurangnya objektivitas dan komprehensivitas dalam menjelaskan\r\npemaknaan ayat. Penekanan berlebihan pada suatu tema seringkali menyebabkan\r\npengabaian terhadap aspek munāsabah dan konteks historis ayat, sehingga\r\npemahaman ayat menjadi parsial dan tidak menyeluruh. Hal ini terlihat dalam\r\npenafsiran QS. An-Nisā [5]: 29-30 yang kerapkali ditafsirkan secara fragmentaris dan\r\nindividualistik, sehingga aturan hukum yang terkandung di dalamnya terkesan berdiri\r\nsendiri tanpa memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya yang menyebabkan\r\npemaknaan ayat menjadi tereduksi, serta dimensi sosial etis yang termuat dari segi\r\nketerpaduannya menjadi terabaikan. Diperlukan pengkajian melalui sudut pandang\r\nbaru dalam memahami QS. An-Nisā [4]: 29-30 melalui metode ma’nā cum maghzā\r\nyang digagas Sahiron Syamsuddin guna mendapatkan porsi yang seimbang dalam\r\ninterpretasinya, baik antara horizon teks dan horizon penafsir. Penelitian ini\r\nberbentuk kualitatif dengan pendekatan penelitian pustaka (library research), dan\r\nmelalui pengkajian secara deskriptif-analitis. Penelitian ini mengajukan tiga rumusan\r\nmasalah yang selaras dengan metodologi ma’nā cum maghzā, yakni melalui\r\npencarian makna historis (al-ma’nā at-tārīkhī), signifikansi historis (al-maghzā altārīkhī),\r\ndan signifikansi dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaharrik almu’āṣir).\r\nHasil penelitian ini mengungkapkan tiga hal: Pertama, berdasarkan\r\neksplorasi makna historis melalui empat tahapan analisis (linguistik, intratekstual,\r\nintertekstual, dan konteks historis mikro-makro) menunjukan bahwa QS. An-Nisā\r\n[4]: 29-30 memuat aturan hukum yang bersifat kompleks. Hasil analisa linguistik\r\nmenunjukan bahwa tema-tema yang termuat padanya terikat secara inheren, sehingga\r\nlarangan dan anjuran yang terkandung di dalamnya membentuk satu kesatuan yang\r\ntidak terpisahkan. Selanjutnya, hasil analisa intratekstual menunjukan bahwa\r\npemaknaan kata tersebut memiliki konsistensi yang kuat tatkala disandingkan dengan\r\nlafaz dan tema yang sejenis dalam al-Qur’an. Demikian pula hasil analisa\r\nintertekstual dengan hadis Nabi juga memperlihatkan keselarasan dalam penggunaan\r\ndan pemaknaan lafaznya. Selain itu, analisa intertekstualitas melalui Alkitab\r\nmenunjukan adanya kesamaan konsep terhadap nilai dan ajaran agama, meskipun\r\ndengan konteks dan penekanan yang berbeda. Terakhir dalam analisa konteks\r\nhistoris, meskipun secara aspek mikro tidak ditemukan informasi spesifik terkait\r\nsebab penurunannya, namun pada aspek makro terungkap bahwa ayat tersebut\r\nditurunkan pada masyarakat Arab yang dikenal dengan kebiasaannya berdagang serta\r\nmemiliki tradisi kesukuan kuat. Relevansinya dengan konteks penurunan ayat ini\r\nterlihat pada prioritas larangan memperoleh harta secara batil dibandingkan larangan\r\nmelakukan pembunuhan. Hal ini disebabkan pada masa tersebut, kasus perenggutan\r\nhak milik lebih sering terjadi dibandingkan kasus pembunuhan lantaran seringkali\r\nmentargetkan orang-orang lemah, sedangkan kasus pembunuhan lebih jarang terjadi karena sangat beresiko memicu konflik kesukuan yang berdarah, terutama jikalau\r\nyang terbunuh berasal dari suku yang terhormat. Kedua, Signifikansi historis (almaghzā\r\nal-tārīkhī) dari QS. An-Nisā [4]: 29 menjelaskan aturan hukum yang\r\nberisikan larangan memperoleh harta secara batil yang mencakup seluruh tindakan\r\nyang tidak dibenarkan syariat. Begitupula larangan melakukan pembunuhan pada\r\nayat ini mencakup larangan mencelakakan diri dan melakukan tindakan\r\npenghilangan nyawa, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain. Kedua larangan ini\r\nmemiliki kesinambungan yang tidak terpisahkan dan mengindikasikan bahwa\r\nterjadinya tindakan pembunuhan atau pencelakaan terhadap diri sendiri ataupun\r\norang lain seringkali didasari pada motif perolehan harta. Begitupula anjuran untuk\r\nmenerapkan etika dalam bermuamalah yang berlandaskan dengan prinsip tarāḍin,\r\ndipahami sebagai adanya kesepakatan yang dilandasi rasa saling suka dan rela antara\r\nkedua belah pihak dalam suatu akad transaksi. Ketiga, Signifikansi dinamis\r\nkontemporer (al-maghzā al-mutaharrik al-mu’āṣir) terfokus pada nilai-nilai\r\nimplementatif dan instruktif dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang\r\nrelevan pada masa kini. Dalam konteks kontemporer, larangan memakan harta secara\r\nbatil memiliki sebuah esensi utama, yakni menentang segala bentuk aktivitas atau\r\ntransaksi yang berorientasi kepada keuntungan sepihak dan merugikan individu atau\r\nkemaslahatan orang banyak. Implementasi pelarangan ini pada era modern semakin\r\nrelevan seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan kondisi sosial, di mana\r\npraktek memperoleh harta secara batil tidak lagi terbatas pada cara-cara yang\r\nkonvensional, tetapi juga melibatkan perkembangan teknologi. Begitupula dalam\r\nmewujudkan prinsip tarādin dalam suatu transaksi diperlukan sikap profesionalisme\r\noleh seluruh pihak yang terkait. Esensi utama prinsip ini sejatinya menekankan upaya\r\npencegahan terhadap potensi kecurangan yang dilakukan oleh penjual, sekaligus\r\nperlindungan kepada pembeli, agar transaksi berlangsung tanpa merugikan kedua\r\nbelah pihak. Terakhir, larangan melakukan pembunuhan atau mencelakakan diri\r\nmemiliki keterkaitan erat dengan larangan memperoleh harta secara batil yang\r\nmengindikasikan bahwa tindakan tersebut kerap dipicu dengan motif perolehan harta.\r\nMotif semacam ini masih menjadi salah satu faktor utama yang memicu terjadinya\r\nkasus kriminalitas, mulai dari tindakan mencelakakan diri atau orang lain hingga\r\ntindakan ekstrim seperti pembunuhan. Larangan ini juga dapat dikontekstualisasikan\r\ndalam bentuk larangan melakukan pembunuhan karakter, khususnya di lingkungan\r\nkerja. Adapun keterhubungan antara larangan-larangan ini menjadi landasan penting\r\ndalam mewujudkan keseimbangan sosial. Melaui penghormatan terhadap hak dan\r\nkehormatan sesama, maka hubungan sosial yang berkeadilan dapat terwujud dan\r\nmendorong terciptanya masyarakat yang aman, harmonis, dan berkeadilan."^^ . "2024-12-09" . . . . "UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA"^^ . . . "FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA"^^ . . . . . . . . . "NIM.: 22205032057"^^ . "Muhammad Fauzi"^^ . "NIM.: 22205032057 Muhammad Fauzi"^^ . . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Text)"^^ . . . . . "22205032057_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf"^^ . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Text)"^^ . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "lightbox.jpg"^^ . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "preview.jpg"^^ . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "medium.jpg"^^ . . . "PENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA (Other)"^^ . . . . . . "small.jpg"^^ . . "HTML Summary of #69453 \n\nPENAFSIRAN ATAS QS. AN-NISA [4]: 29-30 PERSPEKTIF MA’NA CUM MAGHZA\n\n" . "text/html" . . . "297.1226 Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Tafsir" . .