%A NIM.: 21105030062 Hanifa Shabrina Alhadi %O Nafisatul Mu’Awwanah, M.A %T PENAFSIRAN QS. AL-BAQARAH [2]: 282 DAN QS. AN-NISA’ [4]: 34: NUANSA EMANSIPASI PEREMPUAN DALAM TAFSIR PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA %X Perkembangan penafsiran Al-Qur’an di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik, seperti gerakan reformasi Islam, kolonialisme, dan perkembangan pemikiran modern. Pada masa pra kemerdekaan, Al-Qur’an seringnya ditafsirkan dengan singkat dan bersifat global. Namun, pasca kemerdekaan, penafsiran menjadi lebih mendalam dan memperhatikan konteks sosial, termasuk peran perempuan. Perubahan sosial, termasuk dominasi patriarki dan kolonialisme memicu gerakan emansipasi perempuan, seiring dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penafsiran Al-Qur’an tentang peran perempuan pun berubah, baik peran di ranah domestik maupun di ranah publik. Penelitian ini menelusuri bagaimana nuansa emansipasi perempuan dalam tafsir Al-Qur’an pra dan pasca kemerdekaan Indonesia melalui penafsiran QS. Al-Bāqarah [2]: 282 untuk ranah publik, dan QS. An-Nisā [4]: 34 untuk ranah domestik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kepustakaan dalam pengumpulan dan analisis datanya. Melalui perspektif historical consciousness Gadamer pada penafsiran QS. Al-Bāqarah [2]: 282 dan QS. An-Nisa’ [4]: 34, penelitian ini berusaha menganalisis bagaimana konteks sejarah mempengaruhi penafsiran ayat-ayat tentang perempuan oleh mufasir Indonesia. Penelitian ini menggunakan Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan untuk pra kemerdekaan, serta Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka untuk pasca kemerdekaan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan, pertama penafsiran kedua ayat dalam kitab tafsir yang diteliti menunjukkan maksud yang hampir sama dengan nuansa yang berbeda. Keseluruhan tafsir, terutama pasca kemerdekaan, menjelaskan QS. Al-Bāqarah [2]: 282 mengenai kebolehan saksi perempuan dalam urusan keuangan dengan syarat dua orang untuk saling mengingatkan, yang didasarkan pada konteks sosial perempuan di masa itu yang jarang terlibat dalam urusan keuangan. Tafsir pra kemerdekaan mengenai QS. An-Nisā [4]: 34 hanya menyebutkan kepemimpinan laki-laki karena diberikan kelebihan dan dibebankan menafkahi keluarga, sedangkan nusyūz hanya disebutkan tahapannya saja. Sementara tafsir pasca kemerdekaan menyebutkan kepemimpinan laki-laki pada QS. An-Nisā [4]: 34 sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban untuk melindungi dan menafkahi keluarga, sedangkan perempuan mengelola urusan dalam keluarga. Nusyūz (ketidaktaatan istri) juga ditekankan pentingnya pendidikan, kasih sayang, dan kesabaran dalam mengatasi masalah rumah tangga. Kedua, tafsir-tafsir tersebut menunjukkan adanya keterpengaruhan konteks historis dalam penafsiran, kecuali Tafsir Al-Furqan yang fokus pada makna harfiah ayat. Tafsir pra-kemerdekaan lebih menekankan peran perempuan dalam konteks keluarga, sementara tafsir pasca-kemerdekaan mulai membuka ruang bagi partisipasi perempuan dalam ranah publik. Kedua periode berusaha memberikan penjelasan tentang peran perempuan, dengan menekankan keadilan dalam hubungannya antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan wacana emansipasi perempuan yang memperjuangkan hak perempuan di ranah publik dan rumah tangga. Secara keseluruhan, penafsiran terhadap kedua ayat menunjukkan dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang terus berkembang sesuai dengan konteks sosial di sekitarnya. %K Emansipasi Perempuan, Tafsir di Indonesia, Konteks Historis %D 2025 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib70330