%0 Thesis %9 Skripsi %A Moh. Syarif Hidayat, NIM.: 99363593 %B FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM %D 2006 %F digilib:70496 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Haji Badal; rukun haji %P 103 %T HUKUM HAJI BADAL (STUDI KOMPARASI ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY­SYAFl'I) %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70496/ %X Haji merupakan salah satu rukun Islam sekaligus sebagai tradisi besar. Haji berasal dari ritual yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, bahkan sejak Nabi Adam AS. Ritual haji sendiri, secara paripurna disyari'atkan oleh Allah lewat Nabi Muhammad SAW, melalui manasik yang beliau lakukan. Manasik yang dilakukan Nabi adalah contoh yang ideal dari pelaksanaan ibadah haji yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam yang menunaikan ibadah haji, sebagai kewajiban sekali dalam seumur hidup, bagi yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Ulama' fiqih tidak menemukan perbedaan dalam masalah mendasar atau aturan-aturan pokok, sehingga manasik yang harus dilakukan oleh jama'ah haji tidak begitu banyak perbedaan dan perbedaan -perbedaan yang muncul hanya merupakan cabang dari aturan-aturan pokok. Demikian dengan hukum haji, jumhur ulama menyatakan wajib bagi semua umat Islam yang mempunyai kemampuan. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pandangan di antara ulama, yaitu orang yang tidak mempunyai kemampuan dari segi fisik, seperti orang lanjut usia (tua), sakit, cacat, lumpuh dan sebagainya, tetapi mempunyai kemampuan harta atau biaya, apakah boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain? Atau bahkan wajib untuk mewakilkannya? Dalam masalah ini, pcnyusun hanya mcmbatasi pcmikiran Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai fuqaha ra'yi, dan Imam asy- Syafi'i yang dikenal sebagaifuqaha hadis. Menurut Imam Abu Hanifah, orang yang tidak punya kemampuan dalam fisiknya, masuk ke dalam kelompok yang tidak memiliki istita'ah dan tidak dikenai kewajiban haji, meskipun mereka memiliki harta. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang memerintah kita untuk mempermudah kita dalam melaksanakan ibadah, jangan malah kita perberat. Sehingga orang yang tidak punya kemampuan fisik tidak perelu mewakilkan, karena haji ibadah badaniyyah maka harus dilaksanakan sendiri oleh orang yang bersangkutan sendiri. Sedangkan menurut Imam asy- Syafi'i, orang yang tidak memiliki kemampuan fisik, tetapi memiliki kemampuan dalam segi harta, maka mereka tetap mempunyai kewajiban haji karena hartanya yaitu dengan mewakilkan kepada orang lain, pendapatnya ini didasarkan pada qadfs, yang mana seorang wanita Khats'amiyah bertanya pada Rasul tentang kebolehan melaksanakan ibadah haji ayahnya yang sudah tua dan tidak mampu untuk pergi haji, dan Nabi menjawab boleh. Kalau dua qadis di atas ditarjih dengan menggunakan jalan yang kembali pada periwayatan, keduanya memiliki tingkat kekuatan yang sama karena sama-sama diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim. Sehingga digunakan jalan tarjih yang kembali pada matan; dititikberatkan pada lafaz dan makna, salah satunya adalah makna yang khas didahulukan atas yang 'aam. Jika dilihat dari khos dan 'aam makna, l1adis yang digunakan Abu Hanifah lebih umum yaitu mencakup seluruh ibadah, sedangkan hadis yang digunakan oleh asy-Syafi'i maknanya lebih khusus yaitu tentang kebolehan haji yang diwakilkan. Sehingga dapat diketalmi bahwa pendapat asy-Syafi'i lebih rajih. %Z Prof. Drs. H.Saad Abdul Wahid