%0 Book %A Furqon Rocmad Widodo, - %A Maryono, - %C Yogyakarta %D 2025 %F digilib:70743 %I Komojoyo Press %K Masjid, Kesejahteraan Masyarakat, Masjid Jogokryan %T Memakmurkan Masjid Mensejahterakan Masyarakat: Pembelajaran Masjid Jogokaryan %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/70743/ %X Setiap agama memiliki truth claim bahwa kebenaran ada pada pihaknya. Setiap agama memiliki ambisi hegemonik. Untuk mewujudkannya para tokoh agama berusaha melakukan aktivitas-aktivitas mengajak kepada umat manusia untuk mengikuti agamanya. Dakwah merupakan diksi yang dimiliki Islam yang artinya memanggil, menyeru dan mengajak. Namun secara luas dakwah adalah penjabaran, penterjemahan, pelaksanaan Islam dalam kehidupan dan penghidupan manusia termasuk dalam hal ini adalah politik, ekonomi, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, kekeluargaan. Bahkan dapat diartikan dakwah seluas kehidupan itu sendiri (Anshari, 2004:152). Hal ini dapat dimaknai bahwa dakwah adalah segala kegiatan untuk perbaikan dan pembangunan masyarakat. Umat lain menggunakan kata evangelism atau penginjilan. Namun demikian secara sederhana keduanya adalah aktifitas para pelaku agama untuk mengajak kepada paham agama. Sedangkan Yahudi justru meyakini agama Yahudi adalah agama untuk mereka dan keturunannya saja. Semangat untuk menyeru agama agar mengimani mereka merupakan semangat fase awal agama untuk eksistensi agama di masa yang akan datang. Mereka khawatir agama akan punah tanpa adanya aktivitas ini. Berbagai macam inovasi dan kreatifitas “mengajak” dilakukan. Namun demikian teori “mengajak” tidak pernah menjadi teori pengetahuan yang esensial untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia. Mengajak dalam hal ini sebatas mengajak umat manusia mengimani sebuah agama, belum sampai pada taraf meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan kebijaksanaan. Masih terbatas untuk untuk mengimani agama disertai klaim klaim kesejahteraan dan kebahagiaan eskatologis. Apakah hal tersebut yang dikehendaki agama? Apakah hakikat ajakan tersebut sebenarnya untuk meningkatkan integritas dan kebijaksanaan manusia atau untuk mengimani klaim kebenaran sebuah agama atau bahkan untuk kesejahteraan umat manusia? Akan sangat melelahkan jika hanya mengajak umat manusia untuk mengimani apa yang kita imani. Studi kritis terhadap keshahihan pemaknaan aktivitas menyeru dan mengajak yang selama ini berkembang sangat dibutuhkan dalam rangka menemukan teori menyeru yang lebih shahih dan otentik. Hal ini yang menjadi perhatian serius para takmir masjid Jogokariyan. Masjid di era digital tidak hanya sebagai tempat untuk menanamkan keyakinan agama namun juga menjadi media yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan jamaah maupun umat manusia. Menyeru untuk meningkatkan kualitas dan integritas internal umat islam merupakan pilihan terdekat. Hal ini didasari minimnya kompetensi dan keterampilan hidup yang dimiliki umat. Hal yang kurang elok jika menuntut umat untuk selalu menyeru orang lain namun dirinya sendiri masih lemah baik secara financial maupun kecakapan hidup. Dengan demikian tidak mengherankan jika program kegiatan yang dilakukan masjid ini terdiri dari berbagai macam program tidak hanya bersifat kegiatan religius/ritual agama/ ibadah mahdhah namun juga kegiatan untuk meningkatkan kompetensi jamaah untuk kecakapan hidup dan kemampuan finansialnya kelak setelah berumahtangga. Bahkan lebih jauh masjid ini menjadi satu satunya masjid yang berhasil memiliki dan mengelola Hotel Masjid yang diperuntukkan bagi para musafir di Jogjakarta dengan memberdayakan UMKM sekitar masjid dan jamaah sebagai karyawan hotel masjid. Pemaknaan masjid sebagai media efektif untuk meningkatkan kualitas jamaah merupakan pemahaman yang mewah bagi para takmir masjid, mengingat masjid yang ada di Indonesia yang jumlahnya mendekati jutaan belum memiliki lembaga yang khusus untuk meningkatkan sumberdaya manusia dalam hal ini para takmir. Dengan demikian para takmir masjid di Indonesia trial and error sendiri dalam menemukan versi untuk membangun dan mengembangkan masjidnya, termasuk masjid Jogokariyan. Namun demikian proses tersebut benar benar tidak mengkhianati hasil akhir. Pengelolaan masjid Jogokariyan kini menjadi rujukan berbagai masjid di Indonesia bahkan di berbagai negara tetangga. Pengelolaan masjid Jogokariyan pada dasarnya tidak merujuk fungsi manajemen yang pernah ada di kancah akademik seperti teori Shewart (1920) yang membagi Plan, Do, Check, Act (PDCA) atau teori George Terry (1958) yang membagi fungsi manajemen menjadi Planning, Organizing, Actuating, Controlling atau Stephen Robbin (2010) membagi fungsi manajemen terdiri dari Planning, Organizing, Leading, Controlling. Beberapa kali saya dengan mahasiswa mengadakan studi dan kunjungan di masjid Jogokariyan, selain itu beberapa kali juga mengundang tim takmir masjid Jogokariyan untuk memberikan ceramah di kelas; dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa pengelolaan masjid Jogokariyan memiliki versi sendiri yang ditemukan melalui kejelian menangkap pola kegiatan masjid yang dipadukan dengan psikologi jamaah. Perpaduan ini menghasilkan tahapan-tahapan yang disepakati bersama sehingga pengelolaan masjid berjalan unik, khas dan dinamis. Masjid Jogokariyan dibawah kepemimpinan Muhammad Jazir Asp. secara kreatif mengembangkan pola manajemen yang berbasis adaptasi tuntutan zaman. Pada awalnya pola manajemen yang ada di masjid Jogokariyan adalah adanya keprihatinan karena masyarakat mulai enggan berkunjung atau berjamaah di masjid. Dengan tujuan sederhana ingin mendekatkan warga dengan masjid dan menciptakan ikatan emosional warga dengan masjid maka dikembangkan pola manajemen sekreatif dan semenarik mungkin dengan mengembangkan prinsip-prinsip : 1. Melayani 2. Memahamkan 3. Mensosialisasikan 4. Mempertanggungjawabkan Berbeda dengan Masjid lainnya, Masjid Jogokariyan tidak saja bergairah dalam dinamika ibadah Mahdhah, namun juga dalam aspek sosial kemasyarakatan yang mungkin belum lazim dilakukan di masjid-masjid lain diantaranya kesehatan, pendidikan, kesenian, sosial, olah raga. Dengan mengembangkan berbagai aspek sosial kemasyarakatan ini terbukti mampu menarik jamaah atau umat dalam hal ini generasi muda untuk intens terlibat dalam kegiatan-kegiatan masjid sesuai dengan minat dan kecenderungan dari pribadi masing masing. Artinya jamaah yang memiliki kecenderungan atau minat dalam pengajaran dapat terlibat dalam kegiatan pendidikan yang ada di masjid, sedangkan yang memiliki ketertarikan dalam bidang olah raga dapat bergabung dengan tim olah raga yang ada di masjid dan seterusnya. Strating point untuk menerapkan manajemen masjid terkadang merupakan sesuatu yang membingungkan. Namun tidak bagi jamaah masjid Jogokariyan. Pada kasus ini masjid Jogokariyan menerapkan pola yang sederhana dan mudah untuk dilakukan 1. Paling sederhana 2. Paling mudah 3. Paling ringan Penerapan pola manajemen gaya Jogokariyan menjadi unik dan otentik karena berbasis kegiatan masjid yang dipadukan dengan psikologi jamaah. Perpaduan ini menghasilkan tahapan-tahapan yang disepakati bersama sehingga pengelolaan masjid berjalan unik, khas dan dinamis. . Dengan pola manajemen yang ”rendah hati” dan tidak mengawang strategi ini mampu mengembangkan masjid ini di tingkat nasional bahkan terkenal dibeberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Karena masjid bukan merupakan institusi profit pendekatan pengelolaan yang diterapkan cenderung pada pendekatan Model Adaptasi atau model kedua dimana peluang untuk menyelaraskan dengan kehendak stakeholder dalam hal ini jamaah masjid terbuka lebar. Hal ini pula yang telah diterapkan di Masjid Jogokariyan. Artinya pengelolaan masjid yang bersifat terbuka dan kepengurusan yang tidak mengedepankan struktural memungkinkan pendekatan ini lebih relevan. Namun pengelolaan masjid dengan pendekatan enterpreneur maupun pendekatan perencanaan bukan sesuatu yang mustahil dalam dinamika masjid. Dari aspek penunjukan pengelola masjid, para tokoh masjid Jogokariyan memiliki mekanisme yang cukup unik untuk ukuran masjid. Untuk memilih tim takmir, para tokoh masjid melakukan pemilihan sebagaimana pemilu yakni dengan sistem coblosan. Para formatur takmir ”berkampanye” program didepan jamaah, kemudian jamaah bisa mengetahui dan memilih takmir yang dirasa bisa membawa masjid dalam periode kepengurusan yang akan datang. Penanaman demokrasi sudah diawali di masjid ini, sehingga permainan yang fair sudah menjadi bagian tak terpisahkan di awal pemilihan takmir masjid. Dengan demikian tim takmir yang dihasilkan merupakan pilihan mayoritas masyarakat. Sedangkan pada aspek pendanaan, masjid Jogokariyan juga memiliki temuan menarik. Infaq ideal jamaah bisa dikalkulasi dengan membagi akumulasi kebutuhan dana masjid perbulan dengan jumlah jamaah tetap masjid. Untuk menyederhanakan dan memudahkan pemahaman dapat dicontohkan dengan rumus sebagai berikut : Kebutuhan Dana Masjid / bulan = infaq jamaah Jumlah jamaah tetap masjid Dengan kalkulasi sebagaimana rumus diatas dapat diketahui berapakah seharusnya seorang jamaah berinfaq perbulan di masjid. Jika infaq kurang dari ketentuan berarti seorang jamaah dalam beribadah membutuhkan subsidi dana dari jamaah yang lain, yang berarti akan mengurangi pahala jamaah yang bersangkutan. Dengan demikian untuk mendapatkan pahala yang utuh jamaah masjid juga idealnya juga berinfaq sesuai kebutuhan dana yang dibutuhkan masjid. Terbangunnya reputasi dan kepercayaan masyarakat, penggalangan dana untuk pengembangan masjid Jogokariyan juga memiliki mekanisme yang unik. Masjid Jogokariyan hanya memajang nomor rekening masjid dalam spanduk, bukan dengan penyebaran proposal sebagaimana masjid pada umumnya. Dari rekening masjid yang terpampang di masjid, dana dari donatur mengalir untuk pengembangan Hotel masjid Jogokariyan. Namun penggalangan dana dengan mekanisme seperti ini mungkin hanya cocok di masjid khas perkotaan dan masjid dengan reputasi yang baik. Pada aspek manajemen fasilitas, masjid memiliki Hotel. Sebuah fasilitas usaha yang cukup kontroversial mengingat masjid dan hotel merupakan dua tempat yang memiliki fungsi yang berbeda. Namun Hotel di sini dikelola secara Islami untuk penginapan para musafir yang membutuhkan mengingat kota Yogyakarta merupakan kota pelajar yang banyak dikunjungi warga dari daerah yang berbeda. Hotel Masjid Jogokariyan berada di lantai 3 Islamic Center Masjid Jogokariyan. Hotel dengan 10 kamar berfasilitas bintang 3 ini dilengkapi TV, kamar mandi dalam dan AC di tiap kamarnya. tapi jika anda menginginkan fasilitas yang lebih bagus, maka kami menyediakan satu kamar VIP dengan fasilitas Double Bed, Kamar mandi dengan air hangat, Bathtub, AC dan TV. Harga yang ditawarkan sangat murah dan terjangkau Disamping hotel, fasilitas yang cukup unik adalah adanya TV masjid yang menyiarkan berbagai acara dan program masjid. Program-program masjid dibuat unik dan menarik apalagi di bulan Ramadhan, sehingga siaran masjid ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Program-program masjid pun terlihat tidak biasa misalnya lomba fotografi, pasar sore di masjid, lomba lampion, stand up dan Hikmah dan lain-lain. Tim takmir membuat program yang kreatif sehingga mampu membuat masyarakat menjadikan masjid sebagai central kegiatan sehari-hari. Kepemimpinan masjid Jogokariyan mampu menciptakan budaya baru masjid. Pengelolaan masjid tidak melulu mengikuti pola umum masjid yang ada di Indonesia namun mampu membebaskan diri dari kebiasaan masjid pada umumnya untuk dibawa pada visi misi bagaimana masjid di era modern. Dua isu budaya di era modern yakni budaya inovatif dan etis (Sudiro, 2018: 165) tercapai meski para pengelola tidak merujuk pada teori teori yang muluk. Namun adanya Hotel Masjid, TV masjid, pemberdayaan UMKM sekitar masjid untuk menunjang konsumsi tamu hotel, penggalangan dana masjid dan lainnya merupakan bukti nyata bahwa tradisi ini merupakan hal baru untuk sebuah manajemen masjid. Selain itu kepemimpinan masjid juga mampu mempertahankan budaya baru yang dirintisnya. Pemimpin mampu membawa apa yang disebut Robbins (2015: 365) sebagai pemberian rangkaian pengalaman yang sama kepada anggota baru sehingga tim tidak kembali kepada budaya lampau sebelum inovasi terlaksana. Budaya baru masjid dapat berlanjut sesuai skema kerja yang telah disepakati bersama. Dengan demikan dalam perspektif Meuleman (1998: 29) Kepemimpinan masjid Jogokariyan dapat disimpulkan memiliki sikap keterbukaan kritis untuk menerima hal baru antar disiplin. Sikap ini memiliki perhatian kepada metodologis teoretis. Dalam kasus masjid Jogokariyaan, keterbukaan kritis mendapat dukungan dari jamaah dan lingkungan sehingga ragam disiplin kegiatan yang “tidak biasa” dalam manajemen masjid berjalan dan berhasil sebagaimana yang kita saksikan. Selanjutnya buku ini merupakan hasil penelitian yang mendalam yang merupakan penelitian tugas akhir. Penelitian ini dibimbing seorang dosen yang kompeten dibidang pelayanan masyarakat; sehingga kualitas dari buku ini tidak perlu diragukan lagi. Pada bab awal penulis memperkenalkan masjid Jogokariyan sebagai masjid yang unik dan berbeda dengan masjid pada umumnya, terutama program-program yang dimilikinya. Selanjutnya penulis melanjutkan tulisan dengan tema masjid sebagai mitra pelayanan public yang diterapkan di masjid Jogokariyan. Pada bahasan selanjutnya penulis berusaha menyingkap lebih jauh pengelolaan masjid di era awal perkembangan Islam baik itu era Makkah, era Madinah, era Khulafaurrasyidin hingga era Abbasiyah. Hal ini untuk melacak peran dan fungsi masjid dalam sejarah. Selanjutnya fenomena versi pengelolaan masjid seperti apakah yang ada di Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia? Bagian selanjutnya fokus pada bagaimana versi pelayanan public yang ada dimasjid Jogokariyan. Ada beberapa teori tentang pelayanan public diantaranya : Moment of Truth, The Cycle of Service, Teori ‘Exit’ dan ‘Voice’, serta The Service Triangle (Model Segitiga Pelayanan). Apapun sistem yang digunakan haruslah berupaya menyetarakan antara posisi tawar klien dengan lembaga penyelenggara. Secara teoretis, mekanisme itu dapat terwujud jika berorientasi pada dua hal: pertama,memberdayakan klien, dan kedua, mengontrol kewenangan/kekuasaanlembaga penyelenggara pelanggan public. Setidaknya ada empat elemen yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyibak pelayanan public yakni Klien, sistem pelayanan yang ada, budaya organisasi dan terakhir sumberdaya manusia. Semua dielaborasi secara mendalam dan otentik sehingga bisa menjadi rujukan yang relevan untuk masjid-masjid di Yogyakarta dan Indonesia.