%0 Thesis %9 Skripsi %A Ahmad Nashrulloh, NIM.: 20105040067 %B FAKULTAS USHULUDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM %D 2025 %F digilib:71512 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Isra dan Mi’raj; budaya desa; ambengan; besanan; kelas sosial %P 112 %T HABITUS KELAS SOSIAL DALAM TRADISI ISRA DAN MI’RAJ DI DESA WADASMALANG, KARANGSAMBUNG, KEBUMEN %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/71512/ %X Tradisi Isra dan Mi’raj merupakan sebuah tradisi yang dirayakan setiap tahun oleh masyarakat muslim, sebagai bentuk penghormatan atau peringatan atas peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al-Harom ke Masjid Al-Aqso hingga ke Sidra Al-Muntha. Perayaan Isra dan Mi’raj ini dirayakan dengan tradisi yang cukup beragam di Indonesia. Di Desa Wadasmalang sendiri, tradisi ini dirayakan dengan cara lain, yang di dalamnya disertai dengan praktik Ambengan dan Besanan, suatu tradisi membuat dan berbagi makanan. Dalam praktiknya tradisi ini menghadirkan kontestasi kemewahan baik dalam membuat dan berbagi makanan tersebut. Hal ini memunculkan paradoksial; satu sisi Isra dan Mi’raj bermakna spiritualitas di sisi yang lain ada praktik kelas sosial sebagai hasrat untuk menunjukan status sosial ekonomi melalui Ambengan dan Besanan. Untuk menjelaskan problem akademik di atas, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui participant observation, wawancara, dokumentasi. adapun untuk menganalisis hasil penelitian tersebut, peneliti menggunakan teori praktik sosial Pierre Bourdieu sebagai pisau bedah. Dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu, tradisi ini dapat dijelaskan melalui konsep habitus, modal dan ranah/arena. Warga yang memiliki modal ekonomi dan modal sosial lebih besar dapat membuat ambengan sesuai dengan standar, sementara masyarakat yang kurang mampu menjadi warga non-kelas. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan beberapa temuan utama. Pertama, tardisi Isra dan Mi’raj di Desa Wadasmalang dirarayakan dengan mewah dan dijadikan sebagai tradisi keagamaan yang khas, yaitu dengan adanya Ambengan (membawa dan menyajikan makanan dalam wadah tertentu) yang mewah dan besanan (pemberian atau pertukaran makanan antarkeluarga atau tetangga) dengan meriah di masyarakat. Kedua, praktik ini telah menjadi bagian dari habitus masyarakat dalam merayakan Isra dan Mi’raj, menciptakan ruang simbolik yang menjadi arena bagi tampilnya kelas sosial dalam masyarakat. Isi dari ambengan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosial pemberinya menjadi penanda simbolik dari posisi kelas masing-masing. Dengan demikian, pelaksanaan tradisi ini tidak hanya menjadi ekspresi spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme reproduksi kelas sosial yang terus berlangsung secara simbolik dan berulang setiap tahunnya. %Z Ratna Istriyani, M.A.