%A NIM.: 23203011202 Muhammad Arif Su’udi, S.H %O Dr. H. Hamim Ilyas, M. Ag. %T PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 PERATURAN BAPPEBTI NOMOR 3 TAHUN 2019 TERKAIT REGULASI CRYPTOCURRENCY DI INDONESIA %X Perkembangan teknologi digital telah membawa transformasi yang signifikan dalam sektor keuangan dan perdagangan, termasuk munculnya cryptocurrency sebagai aset digital berbasis blockchain. Di indonesia, aset kripto diakui sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di Bursa Berjangka, sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) khususnya pada Pasal 2 Nomor 3 Bappebti Tahun 2019. Akan tetapi, regulasi aturan tersebut masih terdapat ketidakkonsistenan dalam pengimplementasiannya. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa aset kripto yang akan diperdagangkan di Bursa Berjangka, secara tidak langsung harus mendapatkan fatwa dari DSN-MUI. Penjelasan dalam aturan tersebut masih belum secara spesifik menjelaskan bagaimana mekanisme dalam mendapatkan fatwa dari DSN-MUI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sinkronisasi antara Peraturan Bappebti dengan Fatwa MUI mengenai cryptocurrency di Indonesia dengan pendekatan kualitatif melalui metode analisis hukum normatif. penelitian ini mengeksplorasi implementasi Pasal 2 Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2019, faktor yang menyebabkan belum optimalnya harmonisasi hukum dalam Peraturan Bappebti, serta implikasi hukum yang ditimbulkan dari adanya peraturan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ketidaksepemahaman antara aturan Bappebti dengan MUI terkait cryptocurrency. Pengimplementasian Peraturan Bappebti Pasal 2 Nomor 3 Tahun 2019 masih mengalami beberapa hambatan diantaranya adalah komunikasi yang kurang efektif antara Bappebti dan MUI. Dimana Bappebti menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, sedangkan MUI hanya memperbolehkan perdagangan aset kripto apabila memenuhi prinsip syariah yang ketat. Selain itu, struktur birokrasi yang belum terintegrasi dengan baik menyebabkan mekanisme pengajuan fatwa belum memiliki standar yang jelas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku industri. Di sisi lain, meskipun fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, regulasi Bappebti justru menjadikannya sebagai bagian dari persyaratan legalitas, sehingga menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya. Perbedaan pendekatan antara pemerintah dan MUI ini mencerminkan inkonsistensi regulasi yang berpotensi menghambat perkembangan ekosistem cryptocurrency di Indonesia. Dari perspektif al-maṣlaḥah al-mursalah, regulasi Bappebti bertujuan untukmenciptakan stabilitas ekonomi dan perlindungan konsumen, tetapi ketidakh armonisan hukum dalam Pasal 2 Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2019 membuat kebijakan ini belum dapat diterapkan secara optimal. %K cryptocurrency; Bappebti; Fatwa MUI %D 2025 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib72001