TY - THES N1 - Dr. Siti Jahroh, S.H.I.,M.SI. ID - digilib72015 UR - https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/72015/ A1 - Asri Eka Mutiara, NIM.: 23203011115 Y1 - 2025/06/02/ N2 - Affirmative action minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada pemilu legislatif 2024 secara nasional mengalami peningkatan, namun selama dua dekade terakhir sejak konsep tersebut dicanangkan, peningkatan tersebut masih belum mencapai target. Proporsi tingkat keterwakilan perempuan yang dinilai bergerak lamban, menjadi persoalan yang selalu hadir dalam setiap agenda pemilu. Hal serupa juga terjadi di daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta, agenda penguatan politik perempuan rupanya menjadi tantangan yang terus berulang, hal ini terlihat dari dinamika keterwakilan perempuan ditinjau dari hasil pemilu legislatif DPR RI secara periodik di Dapil DIY . Untuk itu, penelitian ini dilakukan guna mengidentifikasi keadilan politik bagi perempuan yang dikonsepsikan melalui kebijakan affirmative action serta berupaya menguraikan persoalan yang mempengaruhi praktek affirmative action keterwakilan politik perempuan khususnya di daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta. Parameter yang digunakan ialah melalui optik kebijakan hukum negara (legal policy), kehendak politik (political will) partai, serta konsepsi islam dalam memaknai kesetaraan gender. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris (field research) dengan pendekatan yuridis-normatif dan empiris, sifat penelitian berupa deskriptif analitis. Teknik analisis data memakai teknik deskriptif kualitatif dengan menggunakan data lapangan berupa hasil wawancara dan observasi sebagai data primer dan bahan kepustakaan (library research) sebagai data sekunder (pendukung) seperti dokumen resmi negara, tinjauan teoretis, maupun tinjauan konsep. Hasil penelitian dan analisis pembahasan menunjukkan bahwa konsep affirmative action yang selama ini kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik belum sepenuhnya menjamin keadilan bagi perempuan dalam politik. Persoalan tersebut tak terlepas dari beberapa hal. Pertama, kegagalan penerapan kuota affirmative action minimal 30% keterwakilan politik perempuan disebabkan oleh persoalan sistem hukum yang dikategorikan menjadi 3 (tiga) komponen: struktur hukum pemilu (legal structure), substansi hukum pemilu (legal substance), dan budaya politik masyarakat (legal culture). Kedua, Fatima Mernissi menilai praktek diskriminasi terhadap peran politik perempuan tidak berasal dari ajaran Islam, melainkan akibat dari konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh sosio-historis yang bersifat patriarkis sehingga menghasilkan produk penafsiran ajaran Islam yang misoginis. Upaya memperjuangkan kesetaraan gender bisa dilakukan melalui literasi pendidikan seperti pemanfaatan industri media, aksi kelompok feminis, dan penerjemahan karya-karya asing. PB - UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA KW - affirmative action; kesetaraan perempuan; partisipasi politik perempuan M1 - masters TI - KEADILAN PEREMPUAN: STUDI TENTANG AFFIRMATIVE ACTION TERHADAP PEMILU LEGISLATIF 2024 DI DAERAH PEMILIHAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA AV - restricted EP - 199 ER -