%0 Thesis %9 Skripsi %A Annisa Kartika Sari, NIM.: 18103060031 %B FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM %D 2025 %F digilib:72990 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %K Pembatalan Khitbah, Perbandingan Hukum, Maslahah %P 119 %T KETENTUAN PEMBATALAN KHITBAH DI NEGARA INDONESIA DAN SINGAPURA %U https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/72990/ %X Khitbah atau lamaran merupakan tahap awal dalam proses pernikahan yang secara hukum tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, dalam praktiknya, pembatalan Khitbah sering menimbulkan kerugian, baik secara emosional maupun materiil, bagi salah satu pihak. Di Indonesia, hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum yang secara khusus mengatur konsekuensi dari pembatalan Khitbah, sehingga menciptakan kekosongan hukum dan ketidakpastian bagi pihak yang merasa dirugikan. Berbeda halnya dengan Singapura, yang melalui Administration of Muslim Law Act (AMLA) telah secara tegas mengatur akibat hukum dari pembatalan khitbah, termasuk pemberian ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemberlakuan sanksi terhadap pembatalan Khitbah dalam perspektif perbandingan hukum antara Indonesia dan Singapura, serta meninjau kesesuaiannya dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan dalam hukum Islam. Penelitian ini menggunaka pendekatan normatif dengan teori perbandingan hukum dan Maslahah, jenis penelitian ini adalah penelitian literer (librari research). Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menggambarkan secara tepat aturan pembatalan khitbah di singapura dan indonesia. Setelah itu, dilakukan analisis terhadap masalah tersebut berdasarkan teori di atas. sehingga hakikat obyek dapat dipahami. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan terkait pembatalan khitbah di Indonesia dan Singapura menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, terdapat perbedaan mendasar antara kedua negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan akibat pembatalan Khitbah. Negara Singapura, melalui Administration of Muslim Law Act (AMLA), telah secara jelas mengatur sanksi berupa ganti rugi bagi pihak yang dirugikan, sedangkan Indonesia belum memiliki ketentuan hukum yang secara khusus mengatur hal tersebut. Meskipun pihak yang merasa dirugikan tetap dapat mengajukan gugatan melalui jalur pidana atau perdata, proses tersebut memerlukan bukti yang kuat serta waktu yang cukup panjang. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan orientasi dalam sistem hukum masing-masing negara, khususnya dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam ke dalam kerangka hukum nasional. Kedua, Pengaturan sanksi pembatalan Khitbah dalam Administration of Muslim Law Act (AMLA) 1966 Pasal 94 mencerminkan penerapan teori maṣlaḥah secara konkret dalam hukum positif Islam, khususnya dalam melindungi pihak yang dirugikan. Ketentuan ganti rugi tersebut sejalan dengan prinsip maṣlaḥah ḍarūriyyah, seperti ḥifẓ al-nafs, ḥifẓ al-‘aql, dan ḥifẓ al-māl, karena menjaga keadilan, hak individu, dan keteraturan sosial. Sementara itu, regulasi di Indonesia memang mengakomodasi ruang pembatalan khitbah, namun belum mengatur kompensasi atas kerugian secara eksplisit. Akibatnya, perlindungan terhadap aspek harta belum maksimal, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. %Z Vita Fitria, S. Ag., M. Ag.