@phdthesis{digilib73163, month = {August}, title = {PERBANDINGAN PENAFSIRAN BUYA HAMKA (1908-1981) TENTANG QS. AN-NUUR [24] : 4-5 DALAM MAJALAH GEMA ISLAM DAN KITAB TAFSIR AL -AZHAR}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM.: 20105030139 Revi Mahersa}, year = {2025}, note = {Dr. Phil. Mu?ammar Zayn Qadafy, M.Hum.}, keywords = {Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Majalah Gema Islam, QS. An-Nuur [24]: 4?5, Qadzaf, Tafsir Adabi Ijtima?i, Penafsiran Hukum}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/73163/}, abstract = {Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan penafsiran Buya Hamka terhadap QS. An-Nuur [24]: 4?5 yang membahas tentang hukum Qadzaf (tuduhan) sebagaimana tertuang dalam dua sumber utama: Kitab Tafsir Al-Azhar dan Majalah Gema Islam. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh urgensi perlindungan kehormatan individu dalam masyarakat serta pentingnya memahami tafsir ayat-ayat hukum secara kontekstual. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif-komparatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Data primer diperoleh dari Kitab Tafsir Al-Azhar dan arsip Majalah Gema Islam, sementara data sekunder berasal dari berbagai literatur tafsir dan kajian akademik terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Buya Hamka dalam kedua sumber tersebut menafsirkan QS. An-Nuur [24]: 4?5 dengan pendekatan adabi ijtima?i, yakni pendekatan sosiokultural yang berfokus pada penerapan nilai-nilai Al-Qur?an dalam kehidupan masyarakat. Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menekankan urgensi menjaga kehormatan perempuan dan mencegah fitnah sosial dengan merinci makna ?Muhshanaat? serta pentingnya menghadirkan empat saksi untuk menegakkan tuduhan zina. Sementara itu, dalam Majalah Gema Islam, Buya Hamka menyampaikan pesan moral yang lebih populer dan komunikatif kepada masyarakat luas melalui gaya bahasa yang lebih ringkas namun tetap sarat nilai dakwah dan pendidikan sosial. Kedua penafsiran tersebut saling melengkapi: yang satu bersifat ilmiah dan mendalam, sedangkan yang lain lebih aplikatif dan populer. Dengan membandingkan kedua sumber ini, penelitian ini menyimpulkan bahwa Buya Hamka konsisten dalam substansi penafsirannya, namun menggunakan gaya dan pendekatan berbeda sesuai dengan realitas sosial- poltik Indonesia tahun 1960-an. Hal ini memperkuat posisi Buya Hamka sebagai mufassir kontemporer yang mampu menjembatani teks Al-Qur?an dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khazanah tafsir tematik dan membuka ruang kajian lebih lanjut terhadap media sebagai sarana penyampaian tafsir Al-Qur?an.} }