@phdthesis{digilib73706, month = {June}, title = {INTEGRASI NILAI-NILAI KEJAWEN DALAM MEMBANGUN KOLEKTIVITAS MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI SITUS PATIRTAAN NGAWONGGO KAB. MALANG}, school = {UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA}, author = {NIM.: 18105040044 Maulana Akmal Abrori}, year = {2025}, note = {Dr. Mahatva Yoga Adi Pradana, M.Sos.}, keywords = {Situs Patirtaan Ngawonggo; kejawen; multikultural; kolektivitas}, url = {https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/73706/}, abstract = {Penelitian ini berjudul Integrasi Nilai-Nilai Kejawen dalam Membangun Kolektivitas Masyarakat Multikultural di Situs Patirtaan Ngawonggo Kab. Malang. Situs Patirtaan Ngawonggo yang sakral ini menghidupkan nilai-nilai Kejawen sebagai identitas bersama, meski masyarakat setempat terdiri dari beragam kelompok (LDII, NU, dan Kejawen). Nilai seperti tepa selira, ngalah, dan rewang memperkuat kohesi sosial tanpa konflik. Revitalisasi situs sebagai destinasi wisata juga menarik beragam pengunjung, memperluas interaksi multikultural. Walhasil, tercipta kolektivitas berbasis kearifan lokal, menunjukkan bahwa nilai tradisional Kejawen dapat menjadi perekat dalam masyarakat multikultural. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi agama. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi partisipatif, wawancara, dan dokumentasi lapangan. Sementara itu, data sekunder didapat dari berbagai referensi yang berkaitan dengan objek penelitian. Teori utama yang digunakan adalah teori totemisme {\'E}mile Durkheim, yakni yang melihat simbol-simbol sakral sebagai perwujudan kekuatan sosial dan kolektif masyarakat. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi dua hal: (1) Apa saja nilai-nilai Kejawen yang ada di masyarakat di sekitar Situs Patirtaan Ngawonggo? (2) Bagaimana pengaruh nilai-nilai Kejawen dalam membentuk kolektivitas masyarakat multikultural di Situs Patirtaan Ngawonggo? Temuan penelitian menunjukkan dua hal. Pertama, nilai-nilai Kejawen seperti tepa selira, ngalah, rewang, nrimo ing pandum, serta penghormatan pada alam dan leluhur, dipraktikkan secara fleksibel oleh kelompok berbeda (NU, LDII, penghayat Kejawen, dan wisatawan) tanpa konflik. Kedua, situs berfungsi sebagai totem kolektif yang mempersatukan masyarakat melalui ritual seperti nyadran dan bersih desa, menciptakan collective effervescence. Kolektivitas yang terbentuk bersifat hibrid, menggabungkan solidaritas tradisional dan kerja sama fungsional.} }