%A NIM.: 21105010017 Nur Alif Arrokhim %O Prof. Dr. H. Zuhri, M.Ag. %T ANALISIS KONSEP NIKMAT DALAM KITAB AL-HIKAM KARYA IBN ATHAILLAH (648 H/ 1250 M) %X Skripsi ini membahas mengenai pemahaman umum tentang nikmat dalam masyarakat Muslim sering kali dipersempit pada aspek lahiriah, seperti harta, kesehatan, dan kemudahan hidup. Dalam kajian tafsir klasik maupun populer, nikmat kerap ditafsirkan sebatas pemberian yang menyenangkan sehingga melupakan dimensi batiniah yang bersifat mendidik jiwa. Misalnya, al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan syukur sebagai respon terhadap nikmat, sementara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin membedakan nikmat lahiriah dan batiniah dengan menegaskan bahwa nikmat terbesar adalah iman dan ma‘rifat. Namun, pembahasan mengenai nikmat dalam perspektif sufistik, khususnya dalam kitab al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah, masih jarang mendapat perhatian. Padahal, Ibn ‘Athaillah memandang nikmat tidak hanya sebagai kesenangan, melainkan juga mencakup kesulitan dan ujian sebagai sarana tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa). Dalam konteks masyarakat modern yang diliputi oleh konsumerisme dan krisis makna, kajian terhadap pemaknaan tentang nikmat menjadi semakin relevan untuk menggali alternatif jalan spiritual yang mendalam dan membebaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji makna dan dimensi konsep nikmat menurut Ibn Aṭhaillah dalam al-Ḥikam, serta mengeksplorasi bagaimana pemahaman tersebut dapat memberikan sumbangsih terhadap persoalan spiritual manusia kontemporer. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan tematik-deskriptif. Sumber primer penelitian adalah teks al-Ḥikam, sementara sumber sekundernya berasal dari literatur tasawuf, tafsir, dan beberapa peneltian yang mengandung pembahasan dengan tema serupa. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi tema-tema utama yang berkaitan dengan nikmat, serta menafsirkan makna sufistik yang terkandung dalam teks. Hasil penelitian menunjukkan Ibn Athaillah memandang nikmat sebagai jalan untuk memahami keagungan dan kasih sayang Allah. Nikmat tidak hanya menjadi sarana bagi manusia untuk bersyukur, tetapi juga menjadi ujian, pengingat, dan bahkan peringatan tersembunyi Pandangan ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din yang menegaskan bahwa nikmat adalah segala pemberian Allah (baik materi maupun non-materi) yang harus disyukuri melalui pengakuan hati, lisan, dan perbuatan. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin membedakan nikmat lahiriah seperti harta dan kesehatan, serta nikmat batiniah seperti iman, hidayah, dan ma‘rifat kepada Allah, dengan menekankan bahwa nikmat terbesar adalah hati yang hidup, dipenuhi rasa cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Jika al-Ghazali menekankan syukur sebagai respon benar terhadap nikmat dan Ibn Qayyim mengklasifikasikannya dalam tingkatan lahiriah–batiniah, maka Ibn ‘Aṭha’illah memberi ciri khas dengan memandang setiap keadaan—baik kesenangan maupun kesulitan—sebagai manifestasi kasih sayang Allah yang harus disadari sepenuhnya sebagai jalan menuju pemurnian hati dan ma‘rifatullah. Dengan demikian, Ibn Aṭhaillah menghadirkan paradigma spiritual yang transformatif dan relevan dalam menjawab problematika kehidupan modern yang serba materialistik. %K Ibn Aṭha’illah; al-Ḥikam; tasawuf, al-Ghazali; Ibn Qayyim al-Jawziyyah; transformasi spiritual. %D 2025 %I UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA %L digilib73735