HARMONISASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

SYAIFULLAHIL MASLUL , NIM. 10340099 (2014) HARMONISASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA.

[img]
Preview
Text (HARMONISASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDU)
BAB I, IV, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (55MB) | Preview
[img] Text (HARMONISASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDU)
BAB II, III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (783kB)

Abstract

Mahkamah Konstitusi di Republik Indonesia merupakan lembaga negara baru yang diberikan kewenangan secara eksplisit oleh UUD NRI 1945 untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Machica Mochtar yang merasa bahwa pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dirasa telah menciderai hak-hak konstitsuionalnya sebagai warga negara telah tereduksi dengan pemberlakuan pasal-pasal tersebut. Mahkamah Konstitusi akhirnya memberikan sebuah jawaban berupa putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menolak Pasal 2 ayat (2) dan mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1). Namun ternyata, putusan ini, memberikan norma baru yang kemudian berseberangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2). Mengingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang ketika dibacakan dan masuk kedalam lembaran negara akan menjadi satu rumpun dengan undang-undang yang lain seperti produk legislatif. Penelitian ini menggunakan deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan menggunakan pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif digunakan untuk melihat bagaimana putusan ini dikeluarkan dan bagaimana ketika berseberangan dengan undang-undang lainnya, mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah Negative Legislature Pendekatan yuridis digunakan untuk melihat bagaimana kemudian status anak tersebut setelah putusan ini dikeluarkan dan bagaimana mengharmonisasikan dua peraturan yang masih dalam satu rumpun yang sama, mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak memberikan perbedaan status. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan sebuah positive legislature. Padahal ketika secara original intens dalam UUD NRI 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah benturan dengan undang-undang lainnya, bahkan setelah direvisi. Padahal secara teoritis putusan Mahkamah Konstitusi dan undang-undang merupakan lapisan peraturan satu rumpun berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Namun di sisi lain, menurut Mahfud MD, apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tentang positive legislature, meski dahulu telah diberikan rambu-rambu, tidak semudah yang dibayang ketika harus memutus sesuai ataupun tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, hal ini mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of constitution. Hal yang terpenting perlu dilakukan adalah bahwa Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi dapat melakukan progresivitas, namun harus dibarengi dengan integritas, sehingga tidak ada penyelewengan dalam memutus perkara. Mahkamah Konstitusi di Republik Indonesia merupakan lembaga negara baru yang diberikan kewenangan secara eksplisit oleh UUD NRI 1945 untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Machica Mochtar yang merasa bahwa pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dirasa telah menciderai hak-hak konstitsuionalnya sebagai warga negara telah tereduksi dengan pemberlakuan pasal-pasal tersebut. Mahkamah Konstitusi akhirnya memberikan sebuah jawaban berupa putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menolak Pasal 2 ayat (2) dan mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1). Namun ternyata, putusan ini, memberikan norma baru yang kemudian berseberangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2). Mengingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang ketika dibacakan dan masuk kedalam lembaran negara akan menjadi satu rumpun dengan undang-undang yang lain seperti produk legislatif. Penelitian ini menggunakan deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan menggunakan pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif digunakan untuk melihat bagaimana putusan ini dikeluarkan dan bagaimana ketika berseberangan dengan undang-undang lainnya, mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah Negative Legislature Pendekatan yuridis digunakan untuk melihat bagaimana kemudian status anak tersebut setelah putusan ini dikeluarkan dan bagaimana mengharmonisasikan dua peraturan yang masih dalam satu rumpun yang sama, mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak memberikan perbedaan status. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan sebuah positive legislature. Padahal ketika secara original intens dalam UUD NRI 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah benturan dengan undang-undang lainnya, bahkan setelah direvisi. Padahal secara teoritis putusan Mahkamah Konstitusi dan undang-undang merupakan lapisan peraturan satu rumpun berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Namun di sisi lain, menurut Mahfud MD, apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tentang positive legislature, meski dahulu telah diberikan rambu-rambu, tidak semudah yang dibayang ketika harus memutus sesuai ataupun tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, hal ini mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of constitution. Hal yang terpenting perlu dilakukan adalah bahwa Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi dapat melakukan progresivitas, namun harus dibarengi dengan integritas, sehingga tidak ada penyelewengan dalam memutus perkara.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Pembimbing : M. Misbahul Mujib, S.Ag., M.Hum
Subjects: Ilmu Hukum
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Ilmu Hukum (S1)
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 23 Jun 2014 14:13
Last Modified: 18 Aug 2016 11:39
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/13003

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum