Pemikiran Teologi Islam A. Hassan (Kajian Analitis Untuk Mengetahui Posisi Pemikiran Teologi Islam A. Hassan)

Noer Iskandar Al-Barsany, NIM: 88117/S3 (1997) Pemikiran Teologi Islam A. Hassan (Kajian Analitis Untuk Mengetahui Posisi Pemikiran Teologi Islam A. Hassan). ["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined] thesis, Pasca Sarjana.

[img]
Preview
Text (Pemikiran Teologi Islam A. Hassan (Kajian Analitis Untuk Mengetahui Posisi Pemikiran Teologi Islam A. Hassan))
BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (2MB) | Preview
[img] Text (Pemikiran Teologi Islam A. Hassan (Kajian Analitis Untuk Mengetahui Posisi Pemikiran Teologi Islam A. Hassan))
BAB II, III, IV.pdf - Published Version
Restricted to Repository staff only

Download (8MB)

Abstract

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, seperti dikemukakan didalam bukunya “Teologi Islam”, Teologi Islam atau ilmu Kalam yang di diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid, sehingga pembahasannya biasanya kurang luas dan kurang bersifat filosofis bahkan cenderung membahas satu aliran yaitu aliran (firqah, mazhab) Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah Irak tahun 260 H/ 873 M dan wafat di Bagdad tahun 324 H/935 M), atau aliran al-Asy’ariyah (ulama pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari). Terutama seperti yang dikemukakan oleh Prof.Dr. H.M. Rasyidi dalam “Kata Pengantar”nya terhadap buku “Teologi Islam” tersebut; yang diajarkan di Pondok-pondok Pesantren, seperti kitab-kitab; Ummul Barahin, Aqidatul Awam, Sanusiyah dan kitab-kitab sejenisnya, menjadi out of date karena hanya membahas sifat dua puluh, nama-nama para Nabi dan sebagainya, kecuali di beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti di PTAIN Yogyakarta, dimana Prof. Taib Thahir Abd. Mu’in mengajarkan kitabTaudih al-Adillah karya Abdurrahman al-Jazairi. Kitab tersebut membahas secara luas dan mendalam difinisi ilmu Kalam dan juga perdebatan antara paham Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Istilah teologi Islam atau Ilmu Klam semakin popoler setelah istilah itu ditetapkan menjadi kurikulum di IAIN tahun 1975. Bersamaan dengan itu lahir karya para pakar di lingkungan IAIN menggunakan istilah “Teologi Islam” atau dengan penjelasan “Ilmu Kalam” di dalam dua tanda kurung, sebagai title karyanya di bidang teologi yang membicarakan tentang dasar-dasar agama (usul al-din). Dari situ masyarakat di luar IAIN seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam “Pengantar” karyanya “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah”- mengenal pemikiran yang berkembang dari para teolog Islam berbagai aliran. Ulama kenamaan Indonesia yang produktif melahirkan banyak karya tentang ilmu keislaman, yakni A. Hassan, menggunakan title karya kitabnya dengan istilah Tauhid (judul lengkapnya Kitab At-Tauhid) untuk judul karyanya yang membicarakan dasar-dasar agama Islam atau aqa’id. Sehingga, seperti umumnya ulama konservatif lain, Hassan tidak membahas ilmu tentang dasr-dasar agama secara sistematis dan filosofis. Ini diakui Hassan sendiri bahwadalam bidang ini ia tidak perlu berpikir secara mendalam.Karena yang terpenting bagi Hassan bukanlah mendiskusikan masalah-masalah di bidang itu, tetapi ialah mengamalkanajaran-ajaran yang diperintahkan oleh Allah swt. Maka pembaruan Hasan dalam Islam, meskipun ia popular disebut sebagai reformis atau mujaddid kenamaan Islam di Indonesia dan pengaruhnya meluas sampai ke negaratetangga seperti Malaysia dan Singapura, banyak perhatiannya kepada bidang hokum Islam (fiqih) dan sebagian kepada bidang akidah dalam arti keyakinan yang berhubungan dengan iman dan praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari . Sehingga corak pembaruan dalam Islam Hassan lebih tepat dikatakan pembaruan pemurnian (puritanisasi) untuk mengembalikan bentuk keimanan dan praktek-praktek keagamaan sehari-hari umat Islam Indonesia sesuai dengan tuntunan doctrinal murni al-qur’an dan al-Sunnah. Menurut Prof.Dr. Hamka, Hassan termasuk salah seorang pembaru Islam di Indonesia yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dari Mesir. Sedangkan pengaruh Abduh itu menurut Prof. Dr. Harun Nasution tidak sepenuhnya melainkan sebagian, yakni dalam hal pembaruan mengembalikan bentuk keimanan danpraktek-praktek keagamaan secara murni kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, karena banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh kebanyakan muslim di Indonesia. Dengan kata lain, praktek bermazhab dalam Islam yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia, ditentang keras oleh Hassan dan dianjurkan berijtihad kembali kepada sumber otentik Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti juga dianjurkan oleh gerakan Muhammadiyah. Atas dsar itu maka perhatian Hassan dalam banyak karyanya dan dengan organisasi Persatuan Islam (PERSIS) sebagai media dakwahnya ialah meluruskan kepercayaan yang membawa kepada kemusyrikan seperti tawassul dan praktek keagamaan sehari-hari yang dinilainya tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti praktek usulli dalam salat dan mentalqin orang mati di alam kubur, misalnya. Dakwah seperti ini dilaksanakan oleh Hassan karena ia menurut pengakuannya sendiri adalah pengancur paham ‘Wahabi” di Jawa. Penulisan Hassan dibidang-dasar-dasar agama Islam banyak ditujukan untuk misi dakwahnya tidak menulis ilmu tentang dasar-dasar agama secara sistematis seperti lazimnya penulisan modern karena disesuaikan dengan masalah yang dihadapi oleh Hassan. Setidaknya tepat untuk masa Hassan dan tidak tepat umtuk masa kini. Tetapi jasa-jasanya tetap menjadi sumbangan berharga bagi kemajuan Islam di Indonesia. Untuk itu perlu dilanjutkan dengan berusaha menelusuri karya-karyanya di bidang ilmu dasardasar agama Islam. Menurut komentar Howard M. Federspiel, pemikiran Hassan di bidng keyakinan, mencakup elemen konservatif dan elemen modernis. Dan dalam kesempatan lain ia mengatakan sebagai variasi dari golongan modernis. Itu dapat dibuktikan dalam metoda berpikir keagamaan Islam Hassan dengan instrument yang radikal karena hanya kembali kepada doctrinal murni al-Qur’an dan al-Sunnah dan menentang keras bertaqlid kepada imam atau mazhab. Sedangkan materi produk pemikiran keagamaannya-khususnya di bidang Teologi Islam-banyak parallel dengan pemikiran golongan Tradisional. Hassan banyak menekankan ikhtiar untuk mengejar kemajuan dalam kehidupan, tetapi bukan karena pemahaman tentang kesanggupan akal dengan free will dan free actnya, melainkan semata-mata karena adanya perintah dalam al-Qur’an dan kemudian perintah itu di tangkap oleh akal. Karena itu di pihak lain Hassan menggambarkan ketidaksanggupan akal menentukan nasib manusia sendiri (predestination). Dan akal- kata Hassan – tidak sanggup mengenal Tuhan atau mengetahui yang baik dan yang buruk sebelum ada petunjuk nas atau wahyu dari Tuhan; akal hanyalah saksi dan alat yang dapat membantu memahami nas atau wahyu yang diturunkan. Tetapi paham ikhtiar yang dikemukakan Hassan menunjukkan posisi setingkat lebih maju dari paham Jabariah. Atau dengan kata lain berada diposisi antar Qadariyah dan Jabariah. Hassan tidak ingin ikut terlibat dalam polemic tentang materi-materi Teologi Islam, karena menurutnya yang terpenting adalah mengamalkan ajaran Islam. Bahkan tanpa agama pun, manusia akan memperdebatkan juga tentang materi-materi yang diperdebatkan oleh kaum teolog Islam. Maka Hassan selalu berpikir mengambil jalan tengah untuk mempertemukan dua pendapat yang berbeda dan mengisi dengan jiwa serta semangat menjalankan perintah-perintah atau ajaran-ajaran agama. Namun upaya mengambil jalan tengah ini menjadi obscure ketika Hassan terikat dengan cara pendekatan berpikirnya yang tekstual dan literalis. Dari sini tampaklah bahwa Hassan benar-benar seorang tradisionalis yang sangat terikat dengan nas atau teks dan tidak menafsirkan ajaran agama dengan menggunakan ta’wil yang menjadi kecenderungan masyrakat modern. Paradigma berpikir tekstualis dan literalis inilah yang kemudian dapat menjawab dan menjelaskan keobscuran berpikir Hassan. Dawam Raharjo menulis, bahwa penafsiran terhadap ajaran agama di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tradisional kurang mampu berbicara, sementara penafsiran secara tekstual tidak lagi memuaskan. Maka yang diperlukan sekarang ialah penafsiran secara kontekstual. Sejalan dengan pernyataan ini ialahpernyataan Harun nasution, bahwa pemikiran teologi Islam golongan Mu’tazilah lebih dapat diterima oleh masyarakat terpelajar daripada pemikiran reologi Islam Asy’ariyah. Pertama diterima, karena kerasionalannya dan kedua ditolak, karena ketradisionalannya. Maka meskipun secara fisik Mu’tazilah tidak berpengruh, tetapi secara intelektual pengaruh Mu’tazilah mulai tumbuh dan berkembang terutama dikalangan masyarakat terpelajar Islam. Meskipun pemkiran Teologi Islam Hassan secaramaterial bercorak paham wahabi dan tidak jauh berbeda dengan paham Teologi Islam tradisional Asy’ariyah, tetapi instrument berpikir Hassan memberikan akses berpikir rasional seperti system berpikir Mu’tazilah karena untuk membela pendiriannya Hassan juga menggunakan logika filsafat atau mantiq. Bahkan Hassan menganjurkan pendekatankognitif atau menggunakan informasi ilmiah modern sebagaimana dibenarkan oleh Taimiyah dan M. Arkoun, untukmemahami ajaran Islam. Untuk itu, seperti diakuinya oleh Hassan Sendiri, Hassan adalah pembela paham akidah Wahabi dengan menggunakan logika-filsafat. Seperti halnya juga al-Asy’ari, dia membela paham akidahnya yang menurutnyaadalah paham akidah Imam Ahmad bin Hanbal, dengan menggunakan logika filsafat yang telah ia kuasai karena ia sebelumnya adalah penganut paham Mu’tazilah dalam waktu yang cukup lama, yaitu empat puluh tahun. Mengkompromikan pendekatan kognitif dan tekstualis atau literalis untuk memahami ajaran Islam yang metafisis seperti inilah yang tepat menjadi paradigm Teologi Islam Moderen; seperti halnya yang terdapat dalam paham Teologi Islam Mu’tazilah terutama dengan paham Sunnnatullahnya. Karena paham ini seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. H. Simuh dalam pidato pengukuhan guru besarnya mendukung dan sekaligus menjadi tempat berpijak ilmu pengetahuan modern. Menurutnya, dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Harun Nasution, perlu pengislaman terhadap hokum alam yang bersifat mekanis. Dengan demikian perlu ada teologi Islam dengan paradigm baru seperti tersebut diatas untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan tekologi. Pendekatan seperti ini menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir disebut dengan istilah Ilahiyah-Insaniyah, atau Teistis-Humanistis. Jadi yang diperlukan, seperti pernah ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, bukan Teologo baru dalam arti substansial, tetapi cara menjelaskan teologi Islam itu dapat dipahamisejalan dengan perkembagan zaman.

Item Type: Thesis (["eprint_fieldopt_thesis_type_phd" not defined])
Uncontrolled Keywords: teologi Islam, A. Hassan
Subjects: Pendidikan Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Date Deposited: 03 Nov 2014 09:00
Last Modified: 07 Apr 2015 11:11
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14311

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum