SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DALAM PEMAHAMAN SYAHRUR DAN AL-QARADAWI

ALAMSYAH, NIM. 993142 (2005) SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DALAM PEMAHAMAN SYAHRUR DAN AL-QARADAWI. Doctoral thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DALAM PEMAHAMAN SYAHRUR DAN AL-QARADAWI)
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
[img] Text (SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DALAM PEMAHAMAN SYAHRUR DAN AL-QARADAWI)
BAB II-V.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (12MB)

Abstract

Studi ini pada dasarnya ingin mencari metode paling tepat dalam memahami Sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam pada era modern, lewat studi komparatif atas pemikiran Syahrur dan al-Qaradawi. Ada empat pokok persoalan yang membentuk kerangka pemahaman ini, yaitu asal usul, definisi, dan otoritas Sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam. Studi ini dilakukan dengan alasan Sunnah Nabi merupakan sumber materi yang paling banyak dirujuk, detil serta praktis dalam hukum Islam, namun selalu diperdebatkan relevansinya saat ini antara sikap optimis dan pesimis. Selanjutnya pilihan jatuh kepada dua tokoh di atas. Analisis digunakan untuk mengkaji implikasi gagasan keduanya terhadap upaya pembaruan hukum Islam dan dalam merespon isu-isu keislaman di dunia modern. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya titik temu dan perbedaan di antara kedua tokoh tersebut. Perbedaan muncul sebagai akibat ketidaksamaan metodologi pemikiran yang digunakan sebagai landasan dalam memahami persoalan yang dikaji. Syahrur berangkat dari kecenderungan pemikiran positivis, empiris, dialektis dan induktif, sedangkan al-Qaradawi cenderung pada pola idealisme rasionalis tekstual (logika bahasa) dan deduktif. Atas dasar kerangka pemikiran di atas, keduanya sepakat dalam persoalan pertama bahwa ajaran Muhammad SAW yang bersifat prinsipil berasal dari wahyu, sedangkan aturan yang bersifat teknis operasional adalah hasil ijtihadnya. Dalam persoalan definisi, keduanya sependapat ada dua bentuk sunnah, yaitu: pertama, Sunnah Nabi sebagai konsep metodologis dalam menerapkan hukum al-Qur’an, dan kedua, Sunnah Nabi sebagai aturan praktis hasil penerapan tersebut, yang tergambar secara eksplisit dalam teks hadis. Oleh karena itu, dalam persoalan ketiga, keduanya sepakat Sunnah Nabi berfungsi sebagai aplikasi bagi al-Qur’an. Syahrur menyebutnya sebagai transformasi (tahwil) dan al-Qaradawi menamakannya sebagai penjelas (tafsir). Walaupun demikian, Syahrur lebih menekankan pada pola umum atau sisi metodologis dari Sunnah Nabi, yaitu sebagai metode ijtihad nabi dalam menerapkan hudud dari al-Qur’an secara mudah dan ringan sesuai keadaan, sementara al-Qardawi lebih mengedepankan sisi praktis dengan menjadikan Sunnah Nabi sebagai petunjuk pelaksana. Implikasinya, mengikuti Sunnah Nabi menurut Syahrur adalah mengikuti metode ijtihad sekaligus substansi ajarannya, sedangkan bagi al-Qaradawi adalah lebih mengikuti aturan teknis sebagaimana terdapat dalam teks hadis. Masalah di atas berdampak kepada otoritas Sunnah Nabi dalam persoalan keempat. Keduanya sama-sama mengakui bahwa Sunnah Nabi memiliki kekuatan memaksa (otoriter) untuk ditaati oleh umat Islam, namun Syahrur melihat lingkup ketaatan itu hanya pada esensi (madmun), paradigma dan metode Nabi sebagai ijtihad dalam batasan maksimal atau minimal (hududiyah). Bagi al-Qaradawi keterikatan itu bersifat universal, tidak hanya pada pola umum melainkan juga pada teknis dan form (syakl). Penyimpangan dari aturan umum atau bentuk ketentuan khusus hanya dapat dilakukan jika memang ditemukan indikasi ke arah itu. Atas dasar empat kerangka konsep pemahaman di atas, maka Syahrur memandang Sunnah Nabi hanya sebagai pengalaman hasil dialektika antar norma kewahyuan dengan realitas-realitas khusus, yang tidak dapat saling menafikan satu sama lain, sehingga akan selalu melahirkan tesa-tesa baru yang dinamis sejalan dengan perkembangan sosial kemasyarakatan. Sementara al-Qaradawi memandang Sunnah Nabi sebagai aturan kenabian yang paling baik untuk selalu diikuti pada setiap waktu dan tempat. Bahkan jika bagi Syahrur, aspek historis yang menentukan pemahaman atas teks maupun dalam penerapan hukum, maka bagi al-Qaradawi, justru teks dan hukum yang harus menentukan perkembangan sejarah. Pada tingkat pemahaman ini, maka Syahrur dapat lebih fleksibel dalam menjalankan Sunnah Nabi sedangkan al-Qaradawi lebih terikat oleh cara dan bentuk. Perbedaan pola pemahaman seperti di atas berimplikasi terhadap model pembaruan hukum Islam. Syahrur menempuh pembaruan fundamental, dekonstruktif, dan rekonstruktif dengan pola tajdid yang menawarkan banyak alternatif hukum, mampu mengantisipasi perubahan, merespon semangat modernitas seperti demokrasi, HAM, dan pluralisme, serta dapat mengakomodasi unsur budaya lokal yang partikularistik. Sedangkan al-Qaradawi yang lebih menerapkan pola tatbiq melakukan pembaruan yang cenderung prosedural efektif. Ia memang berangkat dari dasar-dasar maqasid al-syari’ah namun lebih berakar pada paradigma pemikiran klasik yang monolitis dan teokratis. Kecenderungan dengan berbagai implikasinya tersebut muncul pada saat keduanya merespon isu-isu besar dalam hukum Islam era modern, seperti tentang posisi perempuan, orang murtad, dan kedudukan non muslim dalam Islam. Hasil penelitian ini menawarkan perspektif baru dalam memahami Sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam. Jika kalangan tradisional menyatakan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum materi tertulis yang bersifat praktis, sementara kalangan modernis hanya memandangnya dari sisi substansi, maka Syahrur dan juga al-Qaradawi menawarkan konsep Sunnah Nabi sebagai sumber hukum metodologis. Syahrur bahkan lebih tegas menyebut Sunnah Nabi sebagai metode (Nabi) untuk menerapkan hudud (batasan-batasan) dalam al-Qur’an, yakni dengan mendialektika dan mentransformasi wahyu yang transendental dengan realitas obyektif yang nisbi pada setiap ruang dan waktu. Dengan studi ini terungkap bahwa al-Qaradawi dengan nalar klasiknya lebih berakar dan kaya dengan tradisi pemikiran keislaman namun kurang responsif dan relevan dengan realitas modern. Sementara Syahrur dengan nalar positivisme-nya kurang menyelami konteks historisitas maupun spiritualitas dari tradisi keagamaan, sehingga bernuansa formal normatif, namun mampu akomodatif dengan konteks kemoderenan. Dua kecenderungan ini dapat saling berdialektika untuk menghindari pragmatisme dan sikap kurang kritis. Penilaian atas otentisitasa Sunnah dan pemahaman maknanya tetap berpijak pada realitas modern namun dilandasi kesadaran historis yang terdapat dalam kajian ilmu hadis. Dengan ini akan terlihat secara obyektif Sunnah Nabi yang maqbul dan yang mardud, lalu dapat dibedakan Sunnah yang maqbul serta relevan (ma’mul) dan yang maqbul namun tidak relevan lagi (ghai ma’mul bih). Dengan dialektika pemahaman Sunnah di atas, maka dapat dilakukan upaya pengemabngan hukum Islam (usul al-fiqh) ke depan. Pada tataran paradigma, hukum Islam harus berangkat dari Maqasid al-Syari’ah yang telah diberi spirit modernitas. Pada tingkat sumber hukum, Sunnah Nabi harus lebih dipahami sebagai sumber hukum tertulis metodologis dengan kesadaran historis, bukan lagi sebagai sumber materi yang praktis. Pada wilayah epistemologi, pemahaman atas Sunnah Nabi dapat dikembangkan dengan metode tekstual (bayani), logika (ta’lili dan burhani), dan riset ilmiah baik dengan ilmu sosial maupun ilmu eksak (metode istislahi maupun kauni). Kata Kunci: Sumber Hukum Islam, Syahrur, al-Qaradawi

Item Type: Thesis (Doctoral)
Additional Information: Promotor: Prof. Dr. H. Said Aqil Husin Al-Munawwar, MA
Uncontrolled Keywords: Sumber Hukum Islam, Syahrur, al-Qaradawi
Subjects: Hukum Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: Sugeng Hariyanto, SIP (sugeng.hariyanto@uin-suka.ac.id)
Date Deposited: 13 Nov 2014 08:29
Last Modified: 08 Apr 2015 09:36
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14503

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum