BAHASA DAN PENGALAMAN MISTIK DALAM BINGKAI FILSAFAT ANALITIK

MUHAMMAD SABRI, NIM. 973093/S3 (2006) BAHASA DAN PENGALAMAN MISTIK DALAM BINGKAI FILSAFAT ANALITIK. Doctoral thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA.

[img]
Preview
Text (BAHASA DAN PENGALAMAN MISTIK DALAM BINGKAI FILSAFAT ANALITIK)
BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (5MB) | Preview
[img] Text (BAHASA DAN PENGALAMAN MISTIK DALAM BINGKAI FILSAFAT ANALITIK)
BAB II, III, IV, V.pdf
Restricted to Registered users only

Download (19MB)

Abstract

Disertasi ini bermaksud menelusuri pemikiran filsafat Ludwig Wittginstein dan Mehdi ha’iri Yazdi sekitar kebermaknaan bahasa mistik. Untuk maksud tersebut berikut dikemukakan masalah pokok. (1) Bagaimana posisi bahasa sebagai medium ekspresi filsafati terkait keabsahan bahasa mistik, (2) bagaimana system of thought kedua filsuf tersebut dalam kaitannya dengan problem bahasa mistik, dan (3) bagaimana implikasi kan konsekwensi pemikiran kedua filsuf tersebut, khususnya jika dikaitkan dengan fenomena kehidupan New Age dewasa ini. Untuk mengetahui semua itu, metode yang digunakan adalah: historis-kritis dan deskriptif-analitis. Dengan metode historis-kritis akan ditelaah secara cermat dan kritis system of thought kedua filsuf tersebut. Akan tetapi karena sebuah pemikiran tidak serta merta lahir tanpa hubungan dengan tradisi pemikiran yang lain, maka metode historis diperlukan untuk memahaminya. Dengan metode ini ditemukan kemudian bahwa sytem of thought kedua filsuf sama-sama dibangun diatas tradisi Filsafat analitik (Analytic philosophy) meskipun berasal dari tradisi filsafat yang berbeda : Wittginstein dari tradisi barat, Yazdi dari tradisi Islam, khususnya tradisi ’irfani. Dengan metode deskrptif-analitis , studi ini mencoba menggambarkan gagasan-gagasan vital Wittginstein dan Yazdi, khususnya menyangkut problem bahasa mistik. Dari analisis-deskriptif itu ditemukan kemudian “rumusan” baru tentang bahasa mistik, khususnya bagi kehidupan praktis-kontemporer. Seperti diketahui Wittginsteinmengalami “diaspora” dalam pemikiran filsafatnya, sehingga merupakan kelaziman bila menyebut Wittginstein I DAN WITTGINSTEIN II untuk menggambarkan “pergeseran” paradigma filsafatnya itu. Pada periode I, pemikiran Wittginstein terwakili sacara amat baik terutama lewat magnum opusnya Tractatus Logico-Philosophicus, sementara periode II tergambar pada karya “anumerta”nya Philosopjical investigations. Dalam Tractatus Wittginstein menegaskan terhadap hal ihwal yang terkait dengan metafisika, atau yang mistis, ataupun yang transenden-yaitu segala hal yang tidak dapat dikatakan dan beyond the limits of the world-orang sebaiknya diam (be silent). Konsekwensinya, Wittginstein merasa tidak perlu mempercakapkan hal ihwal yang berbau metafisik seperti Tuhan, hakikat hidup, makna hidup, apalagi pengalaman mistik dan seterusnya karena dipandangnya tidak bermakna alias nonsense. Inti gagasan Wittginstein pada periode ini adalah bahwa fungsi bahasa hanya satu (uniformity) yakni menggambarkan fakta dalam rumusan ligika sempurna. Karena itu, pada periode ini pemikiran Wittginstein mencirikan bahasa “logis-empiris-faktual”. Pada periode II filsafatnya, tampak jelas jika Wittginstein tidak saja menolak pandangan- pandangannya sendiri dalam tractatus, tetapi juga menegaskan bahwa bahasa tidak hanya memiliki satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta, tetapi lebih jauh dia mengenalkan satu teori yang disebutnya language games (“permainan bahasa”) yang secara fundamental menyebutkan bahwa bahasa mempunyai banyak fungsi ( pluriformity)-sebagi representasi beragamnya bentuk- bentuk kehidupan (forms of life)-dengan “tata atura” bahasa masing- masing yang khas dan tipikal. Dalam Investigations, Wittginstein menyadari betapa bahasa ikmiah yang berparadigma “logis-empiris-faktual” tersebut sangat terbatas untuk mengungkapkan kompleksitas kehidupan dunia yang berwarna-warni. Kata dan kalimat yang disusun manusia ternyata tidak cukup mampu untuk menunjukkan dan menejelaskan realita kosmik yang sangat kompleks. Ini sebabnya ia lebih tertarik pada ‘bahasa sehari-hari’ (ordinary language) yang menurutnya jauh lebih kaya dan beragam daripada bahasa logika sempurna. Disini, Wittginstein menyelidiki aspek pragmatis bahasa yang membahas hubungan bahasa dengan subjek penutur bahasa:sebuah kajian yang justru terabaikan dalam analisis logis. Melalui language games, Wittginstein kemudian menegaskan bahwa bahasa dapat digunakan melaluiberagam cara dan tujuan yang masing-masing memiliki “aturan main” (rule of game). Itu sebabnya penulis, mencirikan pemikiran filsafat Wittginstein periode kedua sebagai “logis-kategoris-representasional”. Disini language games mengandaikan adanya tata “aturan main” yang khas, unik, dan tipikal bagi setiap aneka ragam bahasa dalam forma kehidupan manusia yang jamak. Konsekwensinya bahasa mistik sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam kehidupan keruhanian agama-agama mesti dipandang memiliki language game nya sendiri. Disini, Wittginstein berusaha “memahami” jika bahasa mistik sejatinya memiliki “aturan main” sendiri, karenanya absah secara epistemologis. Namun ia belum “berhasil” merumusakan bagaimana bentuk epistemologis bahasa mistik itu hingga wafat. Disinilah, Yazdi hadir untuk memberi jawab atas ‘kegelisahan’ Wittginstein itu dan mencoba mengenalkan sebuah paradigma epistemologi mistik yang berciri “intuitif-iluminatif-eksistensial. Dalam studi ini –sembari menggunakan perspektif Filsafat Analitik –Yazdi kemudian melakukan klasifikasi tiga level ‘bahasa’ mistik: (1) pengalaman mistik murni yang tidak terdeskripsikan secara verbal, (2) mysticism (bahasa “dari”mistik) atau bahasa objek mistisisme , yakni pengalaman mistik lampau sang mistikus yang coba dikonseptualisasikannya sendiri dalam bentuk bahasa tertentu. Dalam tradisi Islam, ia dikenal sebagai ‘irfan, dan (3) metamysticism (bahasa “tentang” mistik), yakni suatu jenis bahasa mistik yang lahir dari penyelidikan filosofis (atau ilmiah) tentang ‘irfan. Yazdi, dalam mengenalkan epistemologi mistiknya, memilih jenis bahasa mistik dua level yang terakhir: ‘irfan dan metamysticism. Sementara level yang pertama, baginya, tidak saka tak mungkin dideskripsikan, tetapi juga bersifat personal, dan bebas evaluasi benar-salah. Namun disinilah letak problematisnya gagasan Yazdi, sebab bahasa mistik yang dikenalkannya lebih merupakan “konseptualisasi” pengalaman mistik dan bukannya pengalaman mistik murni. Itulah sebabnya, penulis memandang epistemologi “bahasa mistik” yang dikenalkan Yazdi tak lebih dari sebuah epistemologi yang”mengelak” karena telah lari dari objek sejati mistisisme. Menimbang tiga model bahasa mistik diatas, penulis mencoba “mendamaikan”nya dalam satu simpulan bahwa pengalaman mistik ibarat sebuah koin yang memiliki dua sisi:ia tak dapat dipisahkan tetapi jelas dapat dibedakan. Sisi pertama bersifat “transenden-metafisikal” sementara sisi lainnya “imanen-eksistensial”. Jika sisi pertama mengandaikan pengalaman mistik sebagai sebuah pengalaman murni yang jauh, transenden dan karena itu “tak terbahasakan”, maka yang terakhir mengandaikan pengalaman mistik yang bersifat “empiris” dan sebab itu dapat dirumuskan dalam sebuah “bahasa” tertentu. Sisi terakhir inilah, agaknya proyek reformulasi dan rekonstruksi epistemologi ‘irfani itu dimulai, khususnya dalam menjawab kehausan masyarakat kontemporer yang jamak akan kehidupan keruhanian yang “membumi”.

Item Type: Thesis (Doctoral)
Additional Information: Kata kunci : bahasa, mistik, filsafat analitik
Subjects: Ilmu Agama Islam
Divisions: Pascasarjana > Disertasi > Ilmu Agama Islam
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 17 Nov 2014 15:31
Last Modified: 09 Apr 2015 09:18
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/14569

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum