PENGATURAN-DIRI DALAM BELAJAR (SELF REGULATED LEARNING) MAHASISWA DITINJAU DARI STRATEGI EXPERIENTIAL LEARNING DAN JENIS KELAMIN

Latipah, Eva (2013) PENGATURAN-DIRI DALAM BELAJAR (SELF REGULATED LEARNING) MAHASISWA DITINJAU DARI STRATEGI EXPERIENTIAL LEARNING DAN JENIS KELAMIN. In: PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Yogyakarta, pp. 159-182. ISBN 978-602-9073-47-8

[img]
Preview
Text (PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM)
EVA LATIPAH - PENDIDIKAN KARAKTER.pdf

Download (1MB) | Preview

Abstract

Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang menentukan seseorang dalam kesuksesan akademik dan non-akademik. Ini tentu selaras dengan ajaran agama Islam bahwa ‘segala perbuatan tergantung pada niatnya’, karena niat oleh sejumlah ahli diidentikkan sebagai motivasi1. Pengalaman peneliti selama mengajar psikologi, bahasan tentang motivasi selalu hal yang paling menarik bagi mahasiswa. Ini ditunjukkan dengan selalu banyak pertanyaan terkait motivasi. Bahkan dalam sejumlah penelitian ditemukan bahwa motivasi merupakan faktor terbesar yang memberikan kontribusi terhadap kesuksesan akademik.2 Namun demikian motivasi saja dipandang tidak cukup untuk membawa seseorang meraih kesuksesan akademik. Hasil penelitian Alsa menunjukkan bahwa seseorang dapat meraih kesuksesan dalam bidang akademik jika dia memiliki motivasi belajar yang tinggi, kemudian disertai dengan penggunaan strategi-strategi belajar tertentu, seperti menggunakan strategi menghafal (rehearsal) untuk materi-materi yang sifatnya hafalan seperti menghafal rumus-rumus, menghafal ayat-ayat al-Qur’an, dan sebagainya. Di sisi lain menggunakan strategi pendalaman (elaboration) untuk memahami materi sejarah Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Tidak cukup memiliki motivasi dan strategi-strategi belajar, seseorang yang sukses akademik juga memiliki perencanaan, pengontrolan, dan evaluasi terhadap proses pembelajarannya.3 Dalam istilah psikologi, perencanaan, pengontrolan, dan evaluasi tersebut diistilahkan sebagai regulasi metakognitif. Ini artinya bahwa untuk meraih kesuksesan akademik, maka seseorang perlu memiliki perencanaan belajar yang baik yang dijabarkan dalam target-target, baik target jangka pendek maupun target jangka panjang. Selanjutnya perencanaan yang telah dibuat tersebut dikontrol dalam penerapannya. Pengontrolan dimaksudkan sebagai untuk mengendalikan laju kegiatan yang telah direncanakan. Akhirnya, hasil dari apa yang telah dikerjakan perlu dievaluasi. Evaluasi artinya seseorang meninjau kembali apa yang menjadi penyebab kesuksesan atau kegagalan dari hasil yang diperoleh. Dari evaluasi tersebut seseorang dapat mengetahui apa yang harus dikerjakannya (diperbaiki) dan apa yang harus dikurangi atau bahkan ditinggalkannya. Terakhir, seseorang yang sukses secara akademik melakukan penataan terhadap lingkungan belajarnya. Menata lingkungan belajar artinya, seseorang mampu mengatasi hambatan yang dapat mengganggu kegiatan belajarnya. Misalnya, jika seseorang merasa terganggu jika kondisi lingkungan belajar berisik atau rame, maka upaya yang dilakukannya (bisa jadi) adalah memohon kepada teman-teman sebagai sumber rame untuk tidak rame. Dalam perspektif psikologi, motivasi, strategi belajar kognitif, regulasi metakognitif, dan kelola sumber daya (lingkungan, waktu, dan meminta bantuan/help seeking) diistilahkan sebagai pengaturan diri dalam belajar (self regulated learning). Latipah (2012) mengungkapkan bahwa pengaturan diri dalam belajar bagi mahasiswa sangat dipentingkan karena kebanyakan mahasiswa sudah berpisah dari orang tuanya. Dalam kondisi demikian, tidak ada lagi intervensi dari orang tua terkait pembelajarannya, dan karenanya hanya diri mahasiswalah yang seharusnya mengatur diri dalam pembelajarannya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekalipun mahasiswa sangat tertarik dengan tema masalah motivasi dalam pembelajaran, namun hasil penelitian Latipah (2009) ditemukan bahwa mahasiswa pada program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) memiliki motivasi belajar yang rendah. Ini terutama pada mata kuliah matematika dan pembelajarannya. Setelah dikroscek dengan mahasiswa, mereka mengaku bahwa rendahnya motivasi belajar mereka dalam bidang matematika dikarenakan matematika dipandang sebagai materi yang abstrak. Padahal sesungguhnya, matematika merupakan materi yang sangat mungkin dikonkritkan meskipun objek kajiannya berisfat abstrak.4 Jika motivasi belajar rendah, tentu akan berdampak pada rendahnya penggunaan strategi belajar, rendahnya regulasi metakognitif, dan rendahnya mahasiswa untuk menstruktur lingkungan yang dapat berdampak pada kesuksesan belajarnya. Singkat kata, mahasiswa memiliki tingkat pengaturan diri dalam belajar yang rendah. Jika pengaturan diri dalam belajarnya rendah, maka dapat diprediksi kemampuan akademik merekapun akan cenderung rendah. Di antara faktor yang dipandang menyebabkan rendahnya pengaturan diri dalam belajar mahasiswa adalah terkait dengan penggunaan strategi pembelajaran oleh dosen. Ini artinya dosen seyogianya memberikan ruang bagi mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam aktivitas pembelajaran. Terlibat secara aktif artinya dosen melibatkan mahasiswa untuk berpikir dengan cara memberikan kesempatan yang cukup besar untuk sesi bertanya (tanya jawab). Tidak sekedar terlibat secara aktif, mahasiswa perlu diajak untuk belajar membangun atau merumuskan sebuah konsep. Dalam merumuskan atau membangun konsep, dosenpun menggunakan cara yang deduktif, di mana mahasiswa diajak untuk mengonstruksi sendiri konsep-konsep yang telah dijelaskan melalui pembelajaran deduktif. Menurut Kolb5, mahasiswa juga seyogianya melakukan refleksi atas kegiatan pembelajarannya. Refleksi dimaksudkan sebagai meninjau atau memikirkan kembali, apakah pembelajaran dan perumusan konsep yang telah dilakukannya sudah sesuai atau belum. Untuk mengevaluasi betul tidaknya, akhirnya mahasiswapun melakukan eksperimentasi aktif, yaitu mencoba mengaplikasikan dalam kehidupan nyatanya. Proses sebagaimana diuraikan di atas, menurut Zimmerman sangat memungkinkan untuk mampu meningkatkan kemampuan mengatur diri dalam pembelajaran bagi mahasiswa. Sebagaimana dikemukakannya bahwa siklus dalam membangun pengaturan diri dalam belajar meliputi: pemikiran ke depan, performansi atau pengontrolan kemauan, dan merefleksikan apa yang telah dilakukan.6 Strategi tersebut diidentifikasi Joyce sebagai strategi experiential learning.7 Atas hal tersebut maka strategi experiential learning dipandang berkaitan atau mampu meningkatkan kemampuan mengatur diri dalam belajar mahasiswa. Secara umum, antara laki-laki dan perempuan memiliki prestasi yang sama dalam hal inteligensi. Hal tersebut di antaranya dikarenakan para penyusun tes menghilangkan hal yang menguntungkan suatu kelompok (Halpern & LaMay, 2000). Namun demikian para peneliti kadang menemukan perbedaan dalam hal kemampuan kognitif secara spesifik, seperti dalam hal kemampuan visual-spasial yaitu kemampuan untuk membayangkan dan memanipulasi secara mental gambar dua dan tiga dimensi. Bahkan sejumlah penelitian menemukan bahwa laki-laki secara umum memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas visual-spasial dibanding perempuan. Di sisi lain perempuan memiliki kemampuan yang lebih dibanding laki-laki dalam hal kemampuan penguasaan kosa kata dan dapat mengidentifikasi katakata yang mereka perlukan untuk mengekspresikan pikiran mereka dengan lebih cepat (Lippa, 2002). Adanya kemampuan kognitif yang berbeda antara laki-laki dan perempuan ini dipandang berdampak pula pada pengaturan diri dalam belajar antara laki-laki dan perempuan.

Item Type: Book Section
Uncontrolled Keywords: PENGATURAN-DIRI, SELF REGULATED LEARNING
Subjects: Buku
Divisions: Buku
Depositing User: Miftahul Ulum [IT Staff]
Date Deposited: 17 Jun 2016 11:33
Last Modified: 18 Jun 2016 10:05
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/20919

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum