VARIAN MAKNA WALI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM PERSPEKTIF TAFSIR AL-MANĀR DAN AL-MĪZĀN

KHAIRUN NISA, NIM. 14531014 (2017) VARIAN MAKNA WALI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM PERSPEKTIF TAFSIR AL-MANĀR DAN AL-MĪZĀN. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (VARIAN MAKNA WALI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM PERSPEKTIF TAFSIR AL-MANĀR DAN AL-MĪZĀN)
14531014_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
[img] Text (VARIAN MAKNA WALI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM PERSPEKTIF TAFSIR AL-MANĀR DAN AL-MĪZĀN)
14531014_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (7MB)

Abstract

Kontroversi pemaknaan wali-auliyā turut mewarnai dunia penafsiran Indonesia di penghujung 2016. Sebagian kelompok menjadikan ayat tersebut sebagai basis larangan memilih pemimpin non-muslim. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, kata wali –dalam bentuk tunggal- dan auliyā –bentuk pluraldisebutkan sebanyak 86 kali di dalam al-Qur’an. Pengidentikkan makna kata dengan satu definisi tanpa memperhatikan makna yang diberikan ayat lain hanya akan mereduksi pemahaman yang diberikan al-Qur’an. Di sisi lain, penafsiran terhadap al-Qur’an mengalami perkembangan seiring denyut nadi perkembangan zaman dengan hadirnya puluhan bahkan ribuan kitab tafsir. Penulis mencoba meneliti pemaknaan wali-auliyā dalam dua karya tafsir monumental, al-Manār dan al-Mīzān. Penting dirasa melihat penfsiran yang diberikan dalam kitab al- Manār yang dianggap kitab Sunni moderat dan al-Mīzān sebagai kitab Syi’ah moderat. Penulis mencoba melihat bagaimana sang mufassir memaknai lafazh wali ataupun auliyā untuk kemudian mengelompokkan ragam makna yang mereka berikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan yang diberikan oleh al- Thabathaba’i lebih kompleks dibandingkan penafsiran dalam tafsir al-Manār. Hal ini dilatarbelakangi oleh perbedaan metode dan orientasi penafsiran yang diberikan oleh sang penafsir. Uniknya, Ridha-Abduh tidak satupun memaknai lafazh wali-auliyā sebagai pemimpin, walaupun ia ada menyinggung pola interaksi Muslim dan non-Muslim. Berbeda dengan Abduh-Ridha, al- Thabathaba’i menyinggung konsep ke-wali-an Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan Q.S. al-Maidah ayat 55. Dilihat dari teori asal-usul kepemimpinan, penegasan al-Thabathaba’i menunjukkan ia sebagai seorang penganut teori hereditas. Adapun jika dilihat dari hermeneutika Gadamer, adanya perbedaan penafsiran tersebut disebabkan oleh background sang mufassir yang berpengaruh terhadap penafsiran yang diberikan. Jika ditarik ke konteks Indonesia, kepemimpinan non-Muslim nampaknya bukanlah sebuah keputusan final “hitam-putih-. Sebagai diskursus yang termasuk koridor al-fiqh al-siyāsi, kepemimpinan bersifat mutaghayyirāt (temporal). Boleh tidaknya non-Muslim menjadi pemimpin harus berdasarkan konteks dan memperhatikan illat hukum. Di sinilah tantangan umat Islam untuk menyiapkan kader-kader pemimpin Muslim yang handal dan berkualitas. Namun demikian, penulis menawarkan beberapa kriteria pemimpin yang ideal. Kriteria tersebut adalah memiliki visi dan misi yang jelas dan tidak merugikan umat Islam, cerdas dan berwawasan luas, adil, amanah, memiliki sifat ri’āyah, bisa dijadikan panutan, terbuka, memiliki kedekatan dan rasa kasih sayang terhadap rakyat, bertanggung jawab, jujur, tegas serta memahami urusan pemerintahan yang akan dipimpin.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Uncontrolled Keywords: Kepemimpinan Non-Muslim, al-Manār, al-Mīzān, Wali-Auliyā.
Subjects: Ilmu Alqur’an dan Tafsir
Divisions: Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam > Ilmu Alqur’an dan Tafsir (S1)
Depositing User: H. Zaenal Arifin, S.Sos.I., S.IPI.
Date Deposited: 20 Mar 2018 14:05
Last Modified: 20 Mar 2018 14:05
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/29676

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum