MINASOCHAH, NIM. 9935 3588 (2004) PRAKTEK PERKAWINAN KAUM WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KOTA YOGYAKARTA). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.
|
Text (PRAKTEK PERKAWINAN KAUM WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KOTA YOGYAKARTA))
BAB I, V, DAFTRA PUSTAKA.pdf - Published Version Download (9MB) | Preview |
|
Text (PRAKTEK PERKAWINAN KAUM WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KOTA YOGYAKARTA))
BAB II, III, IV.pdf - Published Version Restricted to Registered users only Download (14MB) |
Abstract
Seiring dengan perkembangan zaman, permasalahan-permasalahan yang muncul dan harus dicarikan penyelesaian hukum pun semakin kopleks. Sebab, hukum dapat mengendalikan kehidupan manusia menjadi damai dan tenteram. Tanpa hukum, manusia bisa menjadi lebih buruk dari pada hewan, bahkan mungkin akan saling memangsa sebagaimana yang teijadi di dunia rimba dan pada masa pra sejarah, dimana manusia bel urn mengenal norma dan etika. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di dunia ini harus dijalankan sebagaimana hukum yang mengatumya dan bila ada suatu perbuatan yang belum mempunyai hukum, maka harus dirumuskan status hukumnya dengan segala pertimbanganpertimbangan yang ada. Perkawinan merupakan ikatan yang dibuat oleh manusia dalam rangka melegalkan hubungan guna memenuhi hajatnya yang paling krusial yaitu hubungan seksual. Selain itu, perkawinan yang sah juga menentukan status nasab anak yang dilahirkan yang selanjutnya berpengaruh pada penentuan pemberian status hukum, dalam kewarisan misalnya. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah akan mengikuti nasab kedua orang tuanya, oleh karena itu bila orang tuanya telah meninggal dan meninggalkan harta warisan ia bisa mendapatkan warisan dari keduanya. Namun tidak demikian bagi anak yang lahir di luar nikah, karena nasabnya hanya pada ibunya, maka ia juga hanya bisa mewarisi dari ibunya. Demikian juga ketika menentukan wali dalam perkawinan, keabsahan anakjuga sangat berpengaruh, karena anak di Iuar nikah tidak memiliki nasab pada ayahnya. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi waria atau yang sering disebut orang sebagai jenis kelamin ketiga, meskipun dengan jelas dalam firman Allah dikatakan bahwa Allah hanya menciptakan man usia dengan dua jenis kelamin yantu laki-laki dan perempuan. Oleh karena hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, hanya mengenal, mengakui dan mengatur hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban sebagai warga negara pada dua jenis kelamin ini, termasuk perkawinannya, maka keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat yang secara tidak langsung tidak diakui menjadi sangat sulit. Sebab, keberadaannya seolaholah hanya ditentukan oleh kelaminnya yang dirasa salah dan bertentangan degan jiwanya. Bila seorang waria ingin mendapat pengakuan dalam hukum dan masyarakat luas, maka ia harus hidup sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan atau sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Bila mereka tidak memenuhi keinginan masyarakat untuk hidup sebagaimana kriteria yang ditentukan, maka mereka akan mendapatkan sanksi moril berupa pengisolasian. Oleh karena itu, kaum waria selama ini dikenal juga dengan sebutan kaum marjinal.
Item Type: | Thesis (Skripsi) |
---|---|
Additional Information: | Drs. H. Fuad Zein, M.A. Drs. H. Muhyidin |
Uncontrolled Keywords: | perkawinan kaum waria, hukum islam, studi kasus di kota yogyakarta |
Subjects: | Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah |
Divisions: | Fakultas Syariah dan Hukum > Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (S1) |
Depositing User: | H. Zaenal Arifin, S.Sos.I., S.IPI. |
Date Deposited: | 01 Oct 2018 14:19 |
Last Modified: | 01 Oct 2018 14:19 |
URI: | http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31015 |
Share this knowledge with your friends :
Actions (login required)
View Item |