BANJAR PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KELURAHAN BUGIS KECAMATAN SUMBAWA)

RIDWAN, NIM. 01350590 (2005) BANJAR PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KELURAHAN BUGIS KECAMATAN SUMBAWA). Skripsi thesis, FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM.

[img]
Preview
Text (BANJAR PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KELURAHAN BUGIS KECAMATAN SUMBAWA))
01350590 BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (8MB) | Preview
[img] Text (BANJAR PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KELURAHAN BUGIS KECAMATAN SUMBAWA))
01350590 BAB II, III, IV.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (7MB)

Abstract

Perkawinan pada umumnya didahului dengan peminangan, selanjutnya dalam peminangan dibicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Salah satunya adalah mahar dan pemberian wajib lainnya. Islam dalam pemberian mahar dan pemberian wajib lainya dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan menikah, tidak menetapkan jumlah minimum dan maksimum. Hal ini karena adanya perbedaan tingkat kemampuan masing-masing orang. Kemudian besar clan kecilnya mahar senantiasa berpedoman pada sifat kesederhanaan, sehingga tidak menjadi penghalang dan pemberat bagi salah satu pihak yang akan menikah. Dalam hal ini, Islam juga tidak melarang adanya pemberian-pemberian lain yang menyertai mahar pada sebuah adat perkawinan, asalkan pemberian tersebut bukan suatu paksaan atau pemberatan, namun sebagai sebuah kerelaan yang bertujuan memperkokoh persaudaraan. Walaupun Islam telah memberikan aturan yang jelas dan tegas tentang perkawinan, akan tetapi dalam realitas kehidupan sering terjadi perbedaan antara aturan dan perilaku masyarakat. Hal ini akibat perbedaan dalam memahami agama, adat istiadat dan kebudayaan. Khususnya pada masyarakat Sasak di Kelurahan Bugis Kecamatan Sumbawa selain membayar mahar kepada pihak perempuan, pihak laki-laki juga diwajibkan untuk membayar banjar. Dalam masyarakat Sasak pada umumnya mahar seorang gadis ditentukan oleh orang tuanya, begitu juga banjar, akan tetapi jumlah banjar lebih besar dibandingkan mahar. Kemudian banjar yang tidak terpenuhi dapat mencegah (gagalnya) suatu perkawinan. Banjar yang tidak dapat terpenuhi biasanya disebabkan oleh pihak perempuan masih belum setuju qengan pihak laki-laki, baik dilihat dari segi status sosial (bangsawan: karena ada kekhawatiran bahwajika seorang laki-laki bukan dari golongan bangsawan, maka dapat berakibat hilangnya kebangsawanan si perempuan, karena setelah perkawinan seorang perempuan tersebut terikat dengan status sosial suaminya atau hukum adat serta wangsa istri tunduk pada hukum adat dan wangsa suami atau berdasarkan ekonomi/ hartawan) dan prilaku beragamanya. Sehingga pihak perempuan meninggikan banjar yang berakibat mempelai laki-laki tidak mampu memenuhinya. Kajian tentang banjar perkawinan yang terjadi di Kelurahan Bugis Kecamatan Sumbawa merupakan sebuah fenomena adat yang menarik untuk dikaji. Hal terseout memberi kesempatan kepada penyusun untuk menyingkap bagaimana hukum Islam melihat fenomena banjar tersebut, jika dikaitkan dengan pelaksanaan banjar yang dianggap memberatkan. Dikarenakan kajian ini merupakan kajian adat, maka teori yang digunakan adalah pembacaan kontemporer (al-qira ,ah al-mu'ii.sirah) dan kaidah asasiah dengan pendekatan 'urf, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah perilaku kebiasaan masyarakat tersebut dilakukan secara logis, relevan, dan tidak bertentangan dengan nas, baik nas al-Qur'an maupun al- Hadis, serta tidak mendatangkan kemudaratan. Hingga dapat digolongkan sebagai sebuah 'urf yang sahih atau yang fas id. Maka perpaduan antara pembacaan kontemporer •dan kaidah asasiah dengan pendekatan 'urf adalah basil kajian terhadap satu kondisi masyarakat tertentu yang kemudian diselaraskan dengan ajaran-ajaran prinsip dari nas, baik al-Qur'an maupun al-Hadis. Berdasarkan metode yang digunakan, maka terungkaplah bahwa pelaksanaan banjar di Kelurahan Bugis Kecamatan Sumbawa didahului dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan penyerahan banjar dilaksanakan dengan sebuah tradisi sarong serah atau nyongkolan, yang disimbolkan sebagai masuknya wangsa istri ke dalam wangsa suami serta simbol meminta restu kepada orang tua dan keluarga pihak perempuan. Perkawinan yang gagal akibat banjar,karena mempelai laki-laki tidak memenuhi syarat-syarat yang dimintai oleh pihak perempuan, seperti calon mempelai laki-laki tidak semartabat dan kurang pendidikan agamanya. Maka dari pelaksanaan banjar tersebut, hukum Islam melarang tingginya pembayaran banjar dengan alasan mempelai laki-laki tidak sederajat atau untuk menjaga martabat (status sosial) pihak perempuan sehingga melegalkan banjar tersebut sebagai alasan mencegah perkawinan.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Drs. ABDUL HALIM, M. Bum
Uncontrolled Keywords: Banjar, perkawinan, hukum islam
Subjects: Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (S1)
Depositing User: Drs. Mochammad Tantowi, M.Si.
Date Deposited: 04 Sep 2019 13:16
Last Modified: 04 Sep 2019 13:16
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/36512

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum