AL MAWARDI DAN TEORINYA TENTANG KHLAFAH

SYAMSUL ANWAR, (2008) AL MAWARDI DAN TEORINYA TENTANG KHLAFAH. /Jurnal/Al-Jamiah/Al-Jamiah No. 35 Th. 1987/.

[img]
Preview
Text
03. SYAMSUL ANWAR - AL MAWARDI DAN TEORINYA TENTANG KHILAFAH.pdf - Accepted Version

Download (7MB) | Preview
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_lightbox)
lightbox.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_preview)
preview.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_medium)
medium.jpg

Download (0B)
[img] Other (Thumbnails conversion from text to thumbnail_small)
small.jpg

Download (0B)

Abstract

Adalah kenyataan historis bahwa masalah yang pertama-tama muncul dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad bukanlah masalah teologi, melainkan justru masalah politik, walaupun kemudian persoalan politik ini segera menjelma menjadi pembicaraan teologis. Problem yang paling mengenai khilafah atau imamah yang dilukiskan oleh al-Syahrastani (479-58H) sebagai pertentangan paling besar di kalangan umat Islam, sebab, lanjut ahli Ilmu Perbandingan Agama ini, tidak pernah terjadi sebuah pedang dihunuskan karena suatu masalah dasar agama seperti yang terjadi karena masalah imamah di setiap zaman. Akar pertentangan ini dapat dilacak ke dalam kenyataan bahwa baik al-Quran mapun Nabi Muhammad sendiri tidak memberikan ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai masalah tersebut. Memang di dalam berbagai konteks dalam al-Quran terdapat referensi-referensi mengenai kekuasaan dan otoritas, begitu pula perkataan-perkataan seperti ikhalifah, khalaif/i dan iiman/i disebut beberapa kali dalam kitab suci terakhir itu, namun semua hal itu hanya menunjukkan kekuasaan yang mungkin direalisir oleh orang-orang beriman di dunia dan tidak merumuskan prinsip-prinsip politik sebagai bagian dari asas agama untuk mengorganisir sebuah khilafah. Sehubungan dengan ini Nabi pun, menurut versi Sunni, tidak memberikan isyarat yang jelas kepada siapa khilafah diberikan dan bagaimana ia bisa diselenggarakan sepeninggal beliau. Kenyataan ini menjelaskan mengapa para pengganti yang datang sesudah beliau mengambil kebijaksanaan yang berbeda-beda dalam pemilihan khalifah. Menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya, sedang Umar mengangkat panitia enam - sekaligus sebagai calon nominasi - yang bertugas memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah pengganti beliau. Adapun sesudah periode Khulafaur Rasyidin, oleh Bani Umayah khilafah dirubah menjadi kerajaan yang diwarisi secara turun temurun. dalam hal ini Muawiyah menurut riwayat al-Yaqubi (w. 897M) berkata, Sayalah raja Arab yang pertama. Tradisi Bani Umaiyah ini kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbas, bahkan mereka menambahkan kepada khilafah mereka sifat sebagai perwakilan Tuhan sehingga khilfah tampak seolah-olah sebagai penguasa temporal dan sekaligus spiritual meskipun tidak memiliki otoritas dalam masalah akidah. Abu Jafar al-Mansur (r. 754-775M) misalnya mengklaim bahwa ia adalah sultan Allah di atas bumi.b

Item Type: Article
Uncontrolled Keywords: Al Mawardi, Teori, Khilafah
Subjects: Al Jamiah Jurnal
Divisions: E-Journal
Depositing User: Edi Prasetya [edi_hoki]
Date Deposited: 10 Apr 2013 16:50
Last Modified: 10 Apr 2013 16:50
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/520

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum