PEMAKNAAN TERHADAP FALSAFAH HIDUP DIMA BUMI DIPIJAK DISINAN LANGIK DIJUNJUANG BAGI PERANTAU MINANGKABAU DI KOTA YOGYAKARTA (Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure)

Rachmat Afandi, NIM.: 18205010058 (2022) PEMAKNAAN TERHADAP FALSAFAH HIDUP DIMA BUMI DIPIJAK DISINAN LANGIK DIJUNJUANG BAGI PERANTAU MINANGKABAU DI KOTA YOGYAKARTA (Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure). Masters thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (PEMAKNAAN TERHADAP FALSAFAH HIDUP DIMA BUMI DIPIJAK DISINAN LANGIK DIJUNJUANG BAGI PERANTAU MINANGKABAU DI KOTA YOGYAKARTA (Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure))
18205010058_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (4MB) | Preview
[img] Text (PEMAKNAAN TERHADAP FALSAFAH HIDUP DIMA BUMI DIPIJAK DISINAN LANGIK DIJUNJUANG BAGI PERANTAU MINANGKABAU DI KOTA YOGYAKARTA (Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure))
18205010058_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (6MB) | Request a copy

Abstract

Membicarakan Minangkabau tentu tidak bisa tidak, tanpa ada pembahasan tentang tradisi merantau yang dilakoni oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Tradisi merantau ini telah dilakukan sejak turun menurun dari dulu hingga sekarang. Umumnya merantau ini hampir dilakukan oleh setiap laki-laki terutama yang belum menikah (anak bujang) di Minangkabau. Ini tidak terlepas dari peran dan kedudukan laki-laki dalam sistem sosial masyarakat lebih rendah ketimbang perempuan atau sering disebut kaum ibu (dikenal juga dengan sistem Matrilineal). Namun kini merantau tersebut telah banyak dilakukan juga oleh perempuan. Umumnya para perantau ini telah dibekali dengan wejangan, pepatah dan ajaran dari adat untuk dapat beradaptasi di daerah rantau nantinya. Pepatah itulah yang kemudian dikenal dengan dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang. Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi tidak menutup kemungkinan makna dan falsafah hidup yang terkandung pepatah ini telah mengalami perubahan dan tidak menutup kemungkinan hilang ditelan waktu. Atas dasar itu perlu kiranya untuk dilakukan pengkajian ulang akan makna dan falsafah hidup yang terkandung dalam pepatah ini terutama bagi perantau Minangkabau di Kota Yogyakarta. Rumusan masalah dari penelitian ini terkait apa dan bagaimana makna yang terkandung dalam kalimat dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang yang dipandang dari kacamata semiotika khususnya pemikiran Ferdinand De Saussure. Tentunya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan makna filosofis, sehingga pendekatan filosofis menjadi pendekatan yang tepat untuk digunakan. Selain itu, untuk mengkaji makna maka penulis memilih semiotika menjadi pisau analisis dengan cara kerjanya melihat pada struktur yang dimiliki oleh bahasa yang dalam bahasanya Saussure disebut sebagai tanda. Di samping itu teori tentang tanda ini juga didasari pada fenomena sosial yang ada terutama dalam suatu masyarakat. Atas dasar ini semiotika yang digagas oleh Ferdinand De Saussure lebih bersifat sosial dengan melihat antara interaksi yang terjadi serta dalam penerapannya didukung oleh berbagai distingsi dan yang menarik dari distingsi ini adalah konsep penanda dan petanda. Hasil dari penelitian ini adalah Pertama, bahwa pepatah dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang adalah sebuah pengetahuan dari ajaran adat yang dapat digunakan sebagai pegangan atau pedoman hidup ketika berada di daerah lain (rantauan) dengan memegang teguh perinsip-perinsip yang terkandung didalamnya. Perinsip yang dimaksudkan berupa cara pandang masyarakat Minangkabu dalam memahami adat dan sosial dengan melihat dan memdukan unsur-unsur normatif etik terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu dengan adanya pepatah ini perantau Minangkabau dapat menjadi inklusif dan mampu menerapkan sistem keterbukaan dalam masa merantaunya. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada terbentuknya kampung Minangkabau di daerah manapun yang ini berarti masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang bisa menerima perubahan dan mampu untuk beradaptasi dengan baik dengan sosial budaya dan masyarakat setempat. Dari sinilah demokrasi Masyarakat Minangkabau dapat terlihat, disaat mereka harus mampu untuk bersatu dengan budaya lokal atau baru mereka juga tidak boleh kehilangan jati diri atau dalam hal ini identitas sebagai bagian dari orang Minangkabau dan tetap terjaga dengan baik. Kedua, jika gunakan semiotika dalam memandang pepatah ini maka makna yang terkandung adalah hasil dari refleksi masyarakat Minangkabau dalam membuat sebuah kebermaknaan dari unsur-unsur alam yang disatukan menjadi sebuah rangkaian bahasa yang terdiri dari berbagai struktur sehingga menbentuk satu jaringan makna. Ini juga didasari oleh kesepakatan yang telah digunakan oleh masyarakat Minangkabau sendiri dari memberikan arti atau menaruh makna dari sebuah kalimat atau pribahasa. Sehingga makna dari pribahasa dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang aspek moralitas dan normativitas serta etika yang terkadung secara implisit dari pribahasa ini.

Item Type: Thesis (Masters)
Additional Information: Pembimbing: Dr. Muhammad Taufik, S.Ag,. M.Ag
Uncontrolled Keywords: falsafah hidup; adat Minangkabau; kekerabatan matrilineal
Subjects: Adat Istiadat
Filsafat Islam
Divisions: Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam > Aqidah dan Filsafat Islam (S2) > Filsafat Islam
Depositing User: Muchti Nurhidaya [muchti.nurhidaya@uin-suka.ac.id]
Date Deposited: 18 Nov 2022 14:23
Last Modified: 18 Nov 2022 14:23
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/55147

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum