Kiai & Pesantren dalam Perubahan Sosial Tiga Zaman (1905-1950

Nurul Hak, - (2021) Kiai & Pesantren dalam Perubahan Sosial Tiga Zaman (1905-1950. Idea Press, Yogyakarta. ISBN 978-623-6074-29-9

[img] Text (Kiai & Pesantren dalam Perubahan Sosial Tiga Zaman (1905-1950)
Kiai & Pesantren dalam Perubahan Sosial Tiga Zaman (1905-1950.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (4MB)
[img]
Preview
Text (Surat Pernyataan)
surat-surat-pernyataan1679600671.pdf - Published Version

Download (20kB) | Preview

Abstract

Buku ini menarik dan penting untuk dibaca, karena menampilkan kajian yang berbeda mengenai respon ketiga pesantren di Tasikmalaya, yaitu Pesantren Suryalaya, Pesantren Sukamanah, dan Pesantren Cipasung, dalam menghadapi tantangan pada tiga zaman berbeda kolonialisme Belanda, Pendudukan Jepang dan gerakan separatis DL/TH pimpinan Kartosoewirjo di Tasikmalaya (1905-1950) Selama lebih kurang setengah abad menghadapi ketiga tantangan tersebut, ketiga kiai pesantren di Tasikmalaya di atas tidak hanya melakukan vis a vis terhadap kolonialisme Belanda, Pendudukan Jepang dan gerakan gerombolan DTI di Tasikmalaya. Akan tetapi, ketiga kiai kharismatik di atas juga melakukan respon dinamis terhadap persoalan masyarakat Muslim di Tasikmalaya, khususnya akibat ketiga tantangan di atas. Dalam merespon tantangan kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan gerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo, ketiga kiai pesantren di atas sama- sama bersikap non kooperatif atau menentang terhadap ketiganya Meskipun demikian, sikap dan respon yang ditunjukkan oleh ketiganya relative berbeda. Pesantren Suryalaya dan Pesantren Cipasung berikap non kooperatif terhadap kolonial dengan cara membuat budaya tandingan, dalam bidang pendidikan Islam dan pengembangan Tarekat Qadriyah Wanaqsyabandiyah. Sedangkan Pesantren Sukamanah melalui KH Zainal Musthafa, sikap non kooperatiiga terhadap kolonial Belanda diperlihatkan secara frontal dan konfrontatif dalam menentang terhadap baik kebijakan-kebijakan kolonial Belanda yang merugikan rakyat kecil di Sukamanah dan sekitamya Bahkan terhadap pendudukan Jepang. KHZainal Musthafa tidak saja menentang namun juga melakukan perlawanan secara fisik sebagai bentuk jihad dan perjuangan dalam mengusir penjajah dan upaya memerdekakan RI dari cengkraman penjajah, sekalipun KH Zainal Musthata harus menebusnya dengan nyawa. Respon yang sama juga dilakukan oleh KH. Abdullah Mubarok (Abah Sepuh) dari Pesantren Suryalaya dan KH. Ruhiyat dan Pesantren Cipasung terhadap gerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo. Keduanya menolak bergabung dengan DI/TI yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NI) pada 17 Agustus tahun 1949 Penolakan ini didasarkan pada sikap keduanya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila merupakan hasil konsensus bersama yang telah disepakati bersama dari berbagai perwakilan rakyat Indonesia, sehingga wajib untuk setia dan berkomitmen untuk keduanya. Menariknya, respon dinamis juga dilakukan oleh ketiga kiai kharismatik dari Tasikmalaya di atas terhadap persoalan yang dihadap masyarakat dan umat Islam selama tiga zaman tersebut. Pesantren Suryalaya, Sukamanah dan Cipasung, sama-sama melakukan pembaharuan dan transformasi dalam bidang sosial-budaya, dan sosial- ekonomi. Dalam bidang sosial-budaya, Pesantren Sukamanah membangun budaya tandingan melalui corong pengajian di masyarakat dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai bahayanya kolonialisme, karena dapat menyengsarakan rakyat. Pesantren Cipasung mampu menjalin komunikasi kultural yang harmonis dengan para kiai pesantren untuk memperkuat jaringan pesantren di Tasikmalaya melalui pengajian bersama yang diselenggarakan secara rutin mingguan dan dipimpin oleh KH. Ruhiyat di hadapan para ajengan dari Tasikmalaya. Sedangkan dalam bidang budaya, Pesantren Cipasung merintis sistem dan lembaga pendidikan Islam, yang dimulai dari pendidikan pesantren diniyah hingga madrasah, sehingga Cipasung menjadi salah satu kiblat pendidikan Islam di Tasikmalaya. Sementara itu, pesantren Suryalaya membangun pasar dan lahan hutan yang awalnya dianggap angker dan tabu. Namun faktanya setelah dibuka oleh Abah Sepub, ia menjadi tempat transaksi jual beli dan sumber kehidupan masyarakat di Kampung Godebag. Suryalaya Di samping itu hal ini juga menunjukkan fakta distinctive mengenai ketiga pesantren tersebut bukan sebagai sebuah tradisi seperti yang dinyatakn oleh Zamakhayari Dhofier, namun ia berperan sebagai sebuah pergerakan dalam ranah sosial, politik dan budaya. Dengan respon vis a vis terhadap kolonial, pendudukan Jepang, dan DI/TII di satu sisi dan respon dinamo verta progresif terhadap masyarakat di sekitanya, ketiga kia pesantren. di atas telah melakukan perubahan sosial baik ke dalam maupun ke luar pesantren. Dengan demikian fabel pesantren atau kiai pesantren sebagai agent of change menjadi bagian dari fakta kesejarahan dalam sejarah Islam lokal di Tasikmalaya pada awal dan pertengahan pertamabad ke-20 M

Item Type: Book
Uncontrolled Keywords: Kiai, Pesantran, Perubahan Sosial
Subjects: Pendidikan Islam (Pesantren) > Pondok Pesantren
Sosial, Perubahan
Divisions: Buku
Depositing User: Dra. Khusnul Khotimah, SS, M.IP -
Date Deposited: 24 Mar 2023 03:38
Last Modified: 24 Mar 2023 03:38
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/57288

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum