PROBLEMATIKA PRAKTIK JUDICIALIZATION OF POLITICS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023)

Muhammad Ihzal Rifaya, NIM.: 20103040049 (2024) PROBLEMATIKA PRAKTIK JUDICIALIZATION OF POLITICS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

[img]
Preview
Text (PROBLEMATIKA PRAKTIK JUDICIALIZATION OF POLITICS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023))
20103040049_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (4MB) | Preview
[img] Text (PROBLEMATIKA PRAKTIK JUDICIALIZATION OF POLITICS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023))
20103040049_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf
Restricted to Registered users only

Download (7MB) | Request a copy

Abstract

Pasca amandemen UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga yang berwenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar. Tak jarang MK selalu dihadapkan pada permohonan pengujian undang-undang terkait open legal policy, seperti syarat presidential threshold, parliamentary threshold, dan usia minimal capres-cawapres dalam UU Pemilu. Open legal policy dapat diartikan sebagai kebijakan mengenai ketentuan pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Di Indonesia, pengaturan mengenai syarat usia minimal capres-cawapres diatur secara beragam dari waktu ke waktu oleh pembentuk undang-undang, baik 30 tahun, 35 tahun, maupun 40 tahun. Syarat usia tersebut telah beberapa kali diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Salah satunya dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut menambahkan norma baru dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait syarat usia minimal capres-cawapres yang sebelumnya hanya berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun” menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah”. Dengan adanya penambahan norma baru tersebut, MK telah masuk ke dalam ranah pembentuk undang-undang yang mengakibatkan MK telah melakukan praktik judicialization of politics. Judicialization of politics secara definitif dapat diartikan sebagai keterlibatan lembaga peradilan dalam pengambilan kebijakan pembuat undang-undang. Dari persoalan tersebut, muncul sebuah masalah yang berkaitan dengan problematika dan dampak dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji teori negara hukum, judicial review, dan judicialization of politics. Jenis penyusunan yang digunakan adalah studi pustaka. Pendekatan penyusunan yang digunakan adalah yuridis-normatif. Peraturan perundang-undangan sebagai bahan primernya. Literatur seperti buku, dan karya ilmiah sebagai bahan sekundernya, sedangkan kamus ensiklopedia sebagai bahan tersiernya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa problematika praktik judicialization of politics oleh MK setidaknya terdiri dari tiga aspek, yakni aspek prosedural, aspek materiil, dan inkonsistensi putusan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan adalah menjadikan preseden buruk bagi lembaga kekuasaan kehakiman dan berlaku secara langsung kepada Kepala Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang pernah atau sedang menjabat untuk dapat menjadi capres-cawapres dalam Pemilu 2024.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: Pembimbing Udiyo Basuki, S.H., M.Hum.
Uncontrolled Keywords: constitutional court; judicialization of politics; age requirements
Subjects: Ilmu Hukum
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Ilmu Hukum (S1)
Depositing User: Muchti Nurhidaya [muchti.nurhidaya@uin-suka.ac.id]
Date Deposited: 03 Apr 2024 09:55
Last Modified: 03 Apr 2024 09:55
URI: http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/64684

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

View Item View Item
Chat Kak Imum