Fadhli, NIM.: 21300011050 (2024) TRANSFORMASI HIKAYAT PRANG SABI DARI SASTRA PERLAWANAN KE PERFORMA KEBUDAYAAN. Doctoral thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.
|
Text (TRANSFORMASI HIKAYAT PRANG SABI DARI SASTRA PERLAWANAN KE PERFORMA KEBUDAYAAN)
21300011050_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA-1.pdf - Published Version Download (5MB) | Preview |
|
![]() |
Text (TRANSFORMASI HIKAYAT PRANG SABI DARI SASTRA PERLAWANAN KE PERFORMA KEBUDAYAAN)
21300011050_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR-1.pdf - Published Version Restricted to Registered users only Download (8MB) | Request a copy |
Abstract
Penelitian ini menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada karya sastra perang Aceh: Hikayat Prang Sabi. Dengan menggunakan pendekatan antropologi sejarah, penelitian ini melacak jejak perubahan Hikayat Prang Sabi dalam lima fase sejarah Aceh; (1) Kolonialisme Belanda (1873-1942), (2) Kolonialisme Jepang (1942- 1945), (3) Darul Islam Aceh (1953-1962), (4) Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005), dan (5) Setelah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki (2005-sekarang). Dalam lima fase sejarah ini, Hikayat Prang Sabi telah digunakan oleh orang Aceh untuk berbagai macam kepentingan. Empat fase pertama menunjukkan periode penggunaan dalam masa perang, sedangkan fase yang terakhir menegaskan relevansi penggunaannya di masa damai. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari lapangan dan kepustakaan, penelitian ini menunjukkan bahwa Hikayat Prang Sabi masih tetap digunakan oleh orang Aceh meskipun tidak dalam situasi perang dan mengalami transformasi dalam empat segmen yang berbeda. Pertama, media. Hikayat Prang Sabi yang pada mulanya berbentuk hikayat dalam perjalanan sejarah memperlebar format kebudayaannya dalam bentuk lagu, teater, dan tarian. Negosiasi format kebudayaan ini merupakan bentuk penyesuaian dengan realitas sosial yang lebih kontekstual untuk mencapai tujuan ideologisnya. Kedua, agensi. Para pihak yang terlibat dalam produksi dan distribusi Hikayat Prang Sabi tidak lagi hanya dari kalangan ulama sebagaimana yang terjadi di periode kolonialisme Belanda, tetapi juga melibatkan peranan dari politisi cum birokrat, aktivis, dan seniman dari bermacam konsentrasi seperti musik, teater, dan tari. Dua segmen transformasi ini dapat dikategorikan sebagai transformasi material. Ketiga, lawan. Pada awal kehadirannya Hikayat Prang sabi ditujukan untuk melawan Belanda sebagai kaphe penjajah (termasuk Jepang) karena telah mengancam agama dan negara, tetapi konseptualisasi musuh di era kemerdekaan Indonesia (masa Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka) tidak hanya kaphe berdasarkan identitas keagamaan melainkan juga mempertimbangkan prinsip keadilan sebagai negasi dari praktik kezaliman dan penindasan. Keempat, motif. Jihad dan perang bersenjata menjadi motif utama penggunaan Hikayat Prang sabi di masa kolonialisme, namun saat kemerdekaan Indonesia, Hikayat Prang Sabi tidak hanya sebagai instrumen perlawanan tetapi juga bagian dari agenda untuk merawat identitas politik dan kebudayaan. Di masa perdamaian (2005- sekarang), motif penggunaannya semakin melebar, pemaknaan atas perlawanan dan merawat identitas politik dan kebudayaan berbatasan tipis dengan komodifikasi budaya terutama saat masuk ke dalam ranah media digital. Jika dibandingkan dengan dua jenis transformasi sebelumnya, dua segemen transformasi ini termasuk ke dalam transformasi supramaterial. Penelitian ini berkontribusi secara teoretis pada fungsi kesusastraan sebagai instrumen perlawanan yang meliputi ideologi politik (political ideology), gerakan politik (political movement), dan performa politik (political performance). Ketiga fungsi ini dirangkai oleh satu spirit keagamaan Islam. Oleh sebab itu, perundingan dan negosiasi suatu produk kebudayaan sangat mempertimbangkan situasi sosial dalam menjalankan peran dan fungsinya agar tujuan yang dikehendaki oleh sebuah karya mencapai titik maksimal. Perwujudan ideologi Prang Sabi dalam bentuk yang tidak statis mengindikasikan keberlangsungan dan keberlanjutan dari identitas perlawanan (continuing resistance identity). Hikayat Prang Sabi dalam arti yang lain telah menjadi living resistance atau perlawanan yang hidup. Sebagai sebuah identitas perlawanan, Hikayat Prang Sabi menerjemahkan ideologinya ke dalam dua praktik di dua situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam kondisi perang (war) ideologi perlawanan diterjemahkan ke dalam bentuk gerakan (movement). Sedangkan dalam kondisi damai (peace), ideologi perlawanannya diterjemahkan ke dalam bentuk performa (performance). Dalam dua format inilah (movement dan performance) ideologi perlawanan tetap hidup dan terus bernegosiasi secara internal.
Item Type: | Thesis (Doctoral) |
---|---|
Additional Information / Supervisor: | Promotor: 1. Prof. Dr. Machasin, M.A. 2. Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A. |
Uncontrolled Keywords: | Aceh; Hikayat Prang Sabi; Transformasi; Perlawanan; Performa Kebudayaan |
Subjects: | Sejarah Peradaban / Kebudayaan Islam |
Divisions: | Pascasarjana > Disertasi > Study Islam |
Depositing User: | Widiyastuti, M.IP |
Date Deposited: | 29 Oct 2024 08:42 |
Last Modified: | 29 Oct 2024 08:42 |
URI: | http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/68275 |
Share this knowledge with your friends :
Actions (login required)
![]() |
View Item |